vvvag

vvvag
halo

Minggu, 05 September 2010

Santa Perawan Maria Bunda Penolong Abadi

oleh: P. William P. Saunders *
Bagaimanakah kisah yang melatarbelakangi lukisan Bunda Penolong Abadi?
~ seorang pembaca di Reston


Lukisan Bunda Penolong Abadi adalah sebuah ikon, dilukis di atas kayu dan tampaknya berasal dari sekitar abad ketigabelas. Ikon ini (kurang lebih 54 x 41,5 sentimeter) menggambarkan Bunda Maria, di bawah gelar “Bunda Allah,” menggendong Kanak-Kanak Yesus. Malaikat Agung St Mikhael dan Malaikat Agung St Gabriel, melayang di kedua pojok atas, memegang alat-alat Sengsara - St Mikhael (di pojok kiri) memegang tombak, bunga karang yang dicelupkan ke dalam anggur asam dan mahkota duri, sementara St Gabriel (di pojok kanan) memegang salib dan paku-paku. Tujuan dari sang pelukis adalah menggambarkan Kanak-Kanak Yesus menyaksikan penglihatan akan Sengsara-Nya di masa mendatang. Kegentaran yang dirasakan-Nya diperlihatkan melalui terlepasnya salah satu sandal-Nya. Namun demikian, ikon ini juga menyampaikan kemenangan Kristus atas dosa dan maut, yang dilambangkan dengan latar belakang keemasan (lambang kemuliaan kebangkitan) dan dari cara dengan mana para malaikat memegang alat-alat siksa, yaitu bagaikan memegang tanda kenang-kenangan yang dikumpulkan dari Kalvari pada pagi Paskah.

Dengan suatu cara yang amat indah, Kanak-kanak Yesus menggenggam erat tangan Bunda Maria. Ia mencari penghiburan dari BundaNya, sementara Ia melihat alat-alat sengsara-Nya. Posisi tangan Maria - keduanya memeluk Kanak-Kanak Yesus (yang tampak bagaikan seorang dewasa kecil) dan memberikan-Nya kepada kita - menyampaikan realita akan inkarnasi Tuhan kita, bahwa ia adalah sungguh Allah yang juga menjadi sungguh manusia. Dalam ikonografi, Bunda Maria di sini digambarkan sebagai Hodighitria, yaitu dia yang menghantar kita kepada sang Penebus. Ia adalah juga Penolong kita, yang menjadi perantara kita kepada Putranya. Bintang yang terlukis pada kerudung Maria, yang terletak di tengah atas dahinya, menegaskan peran Maria dalam rencana keselamatan baik sebagai Bunda Allah maupun Bunda kita.

Menurut tradisi, seorang saudagar mendapatkan ikon Bunda Penolong Abadi dari pulau Krete dan mengirimkannya ke Roma dengan kapal laut menjelang akhir abad kelimabelas. Dalam perjalanan, mengamuklah suatu badai dahsyat, yang mengancam nyawa mereka semua yang berada dalam kapal. Para penumpang bersama awak kapal berdoa memohon bantuan Bunda Maria, dan mereka diselamatkan.

Begitu tiba di Roma, sang saudagar yang menghadapi ajal, memerintahkan agar lukisan dipertontonkan agar dapat dihormati secara publik. Sahabatnya, yang menahan lukisan tersebut, menerima perintah berikutnya: dalam suatu mimpi kepada gadis kecilnya, Bunda Maria menampakkan diri dan menyatakan keinginannya agar lukisan dihormati di sebuah gereja antara Basilika St Maria Maggiore dan St Yohanes Lateran di Roma. Sebab itu, lukisan ditempatkan di Gereja St Matius, dan kemudian terkenal sebagai “Madonna dari St Matius.” Para peziarah berduyun-duyun datang ke gereja tersebut selama tiga ratus tahun berikutnya, dan rahmat berlimpah dicurahkan atas umat beriman.

Setelah pasukan Napoleon menghancurkan Gereja St Matius pada tahun 1812, lukisan dipindahkan ke Gereja St Maria di Posterula, dan disimpan di sana hingga hampir 40 tahun lamanya. Di sana, lukisan itu kemudian diabaikan dan dilupakan.

Oleh karena penyelenggaraan ilahi, lukisan diketemukan kembali. Pada tahun 1866, Beato Paus Pius IX mempercayakan lukisan kepada kaum Redemptoris, yang baru saja mendirikan Gereja St Alfonsus, tak jauh dari St Maria Maggiore. Semasa kanak-kanak, Bapa Suci berdoa di hadapan lukisan ini di Gereja St Matius. Beliau memerintahkan agar lukisan dipertontonkan kepada publik dan dihormati; beliau juga menetapkan perayaan Santa Perawan Maria Bunda Penolong Abadi pada hari Minggu sebelum Hari Raya Kelahiran St Yohanes Pembaptis. Pada tahun 1867, ketika lukisan sedang dibawa dalam suatu perarakan yang khidmad melalui jalan-jalan, seorang kanak-kanak disembuhkan secara ajaib, yang pertama dari banyak mukjizat yang kemudian dicatat sehubungan dengan Bunda Penolong Abadi.

Hingga hari ini, Gereja St Alfonsus mempertontonkan ikon Bunda Penolong Abadi dan menyambut segenap peziarah yang datang untuk berdoa. Kiranya setiap kita tidak pernah ragu untuk memohon bantuan doa dan perantaraan Bunda Maria kapan saja, teristimewa pada masa kesesakan.

* Fr. Saunders is pastor of Our Lady of Hope Parish in Potomac Falls and a professor of catechetics and theology at Christendom's Notre Dame Graduate School in Alexandria.
sumber : “Straight Answers: Icon Invokes Mary's `Perpetual Help'” by Fr. William P. Saunders; Arlington Catholic Herald, Inc; Copyright ©2006 Arlington Catholic Herald. All rights reserved; www.catholicherald.com
Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya atas ijin The Arlington Catholic Herald.”

Jumat, 03 September 2010

Santo - Santa 10 Agustus

Santo Laurensius, Martir

Laurensius termasuk salah satu dari ketujuh diakon agung yang bekerja membantu Sri Paus di Roma. Oleh Paus Sixtus II (257-258), Laurensius ditugaskan mengurus harta kekayaan Gereja dan membagi-bagikan derma kepada para fakir miskin di seluruh kota Roma. Ia juga melayani Sri Paus dalam setiap upacara keagamaan. Ketika Sri Paus Sixtus II ditangkap oleh serdadu-serdadu Romawi, Laurensius bertekad menemani dia sampai kematiannya. Kepada Paus, ia berkata: "Aku akan menyertaimu kemana saja engkau pergi. Tidaklah pantas seorang imam agung Kristus pergi tanpa didampingi diakonnya." Sixtus terharu mendengar kata-kata Laurensius itu. Lalu ia berkata: "Janganlah sedih dan menangis, anakku! Aku tidak sendirian. Kristus menyertai aku. Dan engkau, tiga hari lagi, engkau akan mengikuti aku ke dalam kemuliaan surgawi".

Ramalan Sixtus itu ternyata benar-benar terjadi. Prefek kota Roma, yang tahu bahwa Gereja mempunyai sejumlah besar kekayaan, mendapat laporan bahwa Laurensius-lah yang mengurus semua kekayaan itu. Karena itu, Laurensius dihadapkan kepada penguasa Roma itu. Laurensius dibujuk agar secepatnya menyerahkan semua kekayaan Gereja itu kepada penguasa Roma. Dengan tenang Laurensius menjawab: "Baiklah, tuan! Dalam waktu tiga hari akan kuserahkan semua kekayaan ini kepadamu". Laurensius dibiarkan kembali ke kediamannya.

Ia segera mengumpulkan orang-orang miskin dan membagi-bagikan kekayaan Gereja kepada mereka. Di bawah pimpinannya, orang-orang miskin itu berarak menuju kediaman Prefek Roma. Kepada penguasa Roma itu, Laurensius berkata: "Tuanku, inilah harta kekayaan Gereja yang saya jaga. Terimalah dan periharalah mereka dengan sebaik-baiknya."

Tindakan dan kata-kata Laurensius ini dianggap sebagai suatu olokan dan penghinaan terhadap penguasa Roma. Karena itu, ia ditangkap dan dipanggang hidup-hidup di atas terali besi yang panas membara. Laurensius tidak gentar sedikitpun menghadapi hukuman ini. Setelah separuh badannya bagian bawah hangus terbakar, ia meminta supaya badannya dibalik sehingga seluruhnya bisa hangus terbakar. "Sebelah bawah sudah hangus, baliklah badanku agar seluruhnya hangus!" katanya dengan sinis kepada para algojo yang menyiksanya. Laurensius akhirnya menghembuskan nafasnya di atas pemanggangan itu sebagai sekorang ksatria Kristus.
Kisah kemartirannya kita ketahui dari tulisan-tulisan Santo Agustinus. Di sana dikatakan bahwa orang-orang yang berdoa dengan perantaraan Laurensius terkabul doanya. "Karunia-karunia kecil diberikan kepada orang-orang yang berdoa dengan perantaraan Laurensius supaya mereka terdorong untuk memohon karunia yang lebih besar, yaitu cinta kasih kepada sesama dan kesetiaan kepada Kristus" demikian kata Santo Agustinus dalam salah satu tulisannya.

Sumber : http://www.imankatolik.or.id/kalender/10Agu.html

Santo Laurensius


"Tuan, inilah harta karun Gereja."

Jika kita sedang merasa uring-uringan terhadap sesuatu yang mengganggu kita, baiklah kita mohon bantuan St. Laurensius agar ia mendoakan kita dan membantu kita agar tetap sabar dalam menanggung pencobaan. Siapakah St. Laurensius?
Laurensius hidup pada abad ketiga. Ia adalah salah seorang dari ketujuh Diakon Roma di bawah Paus St. Sixtus II. Mereka bertugas untuk memberikan bantuan kepada fakir miskin. Pada masa itu, umat Kristiani mengalami penganiayaan hebat dalam pemerintahan Kaisar Valerian. Kaisar memerintahkan agar Paus St. Sixtus II beserta keenam diakon lainnya dijatuhi hukuman penggal, sehingga tinggallah Laurensius seorang diri. Sementara Paus digiring ke tempat hukuman mati, Laurensius mengikutinya sambil menangis, “Bapa, mengapa engkau pergi meninggalkan aku?” Paus menjawabnya, “Aku tidak meninggalkan engkau, anakku. Tiga hari lagi engkau akan bersamaku.”

Laurensius amat gembira karena ia juga akan diperbolehkan menerima piala kemartiran. Laurensius membagi-bagikan semua uang yang masih ada padanya kepada mereka yang membutuhkan. Ia bahkan juga menjual bejana-bejana berharga milik Gereja dan membagikan uangnya kepada mereka yang miskin papa.

Cornelius Saecularis, yang pada waktu itu menjabat sebagai penguasa Roma, mengira bahwa Gereja menyimpan suatu harta karun yang tersembunyi. Maka Cornelius memanggil Laurensius dan berkata kepadanya, “Aku tahu bahwa menurut ajaran kalian, kalian harus menyerahkan kepada kaisar segala milik kaisar. Allah-mu tidak membawa uang ke dunia ketika Ia datang, Ia hanya membawa ajaran-Nya. Jadi, berikanlah uangnya kepada kami, kalian boleh menyimpan ajaran-Nya.” Cornelius juga berjanji akan membebaskan Laurensius jika saja ia mau menyerahkan seluruh kekayaan Gereja kepada kaisar. Laurensius menyanggupi permintaan Cornelius. Ia minta diberi waktu tiga hari untuk mengumpulkan seluruh harta Gereja.

Maka, pergilah Laurensius menjelajahi kota selama tiga hari untuk mengumpulkan orang-orang yang sakit, fakir miskin, jompo, janda serta para yatim piatu. Pada hari yang ketiga ia membawa mereka semua ke hadapan penguasa Roma, katanya, “Tuan, inilah harta karun Gereja!”

Penguasa Roma itu menjadi sangat murka. Dalam amarahnya ia memerintahkan agar Laurensius dijatuhi hukuman mati secara perlahan dan kejam. Laurensius diikatkan pada panggangan besi raksasa yang dipanaskan di atas api yang kecil sehingga api memanggang daging tubuhnya secara perlahan-lahan. Laurensius memang terbakar, tetapi bukan oleh api, melainkan oleh rasa cinta yang amat mendalam kepada Tuhan. Oleh karena itu, Laurensius menjalani siksaannya dengan ketabahan yang mengagumkan. Tuhan juga memberinya kekuatan dan sukacita yang luar biasa, hingga Laurensius masih sempat bercanda, “Balikkan tubuhku,” katanya kepada algojo, “yang sebelah sini sudah matang!”

Kemudian, ”Ya, sudah cukup matang sekarang!” Sementara Laurensius terbaring sekarat, wajahnya memancarkan sinar surgawi. Laurensius berdoa agar penduduk kota Roma bertobat dan berbalik kepada Yesus dan semoga iman Katolik menyebar ke seluruh dunia. Usai mengucapkan doanya, Laurensius pergi menjumpai Yesus, Paus Sixtus dan semua para kudus di surga.

Keberanian serta ketabahan Laurensius menyentuh banyak orang sehingga banyak penduduk Roma yang akhirnya bertobat. St. Laurensius wafat pada tanggal 10 Agustus tahun 258. Pestanya dirayakan setiap tanggal 10 Agustus. Demi menghormatinya, Kaisar Konstantinus membangun sebuah basilika yang indah. Nama St Laurensius ada di antara para kudus Dalam Doa Syukur Agung Pertama dalam Misa.


"Yesus, tolonglah aku untuk mengasihi semua anggota keluargaku setiap hari, sehingga aku dapat mengasihi keluarga-Mu, yaitu Gereja!"

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “disarikan dan diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya”

Hari Raya St. Yosef, Suami Santa Perawan Maria

Hari raya ini dibuat untuk menghormati St. Yosef, Suami Santa Perawan Maria. Suatu hari raya penting untuk melihat peranan Santu Yosef dalam sejarah kesalamatan umat manusia. Perikop yang digunakan untuk perayaan ini diambil dari kisah asal usul dan kelahiran Yesus, Juruselamat kita. Penginjil Mateus menempatkan kisah ini untuk menunjukkan betapa St. Yosef mempunyai peranan penting dalam menjaga kesinambungan garis keturunan raja dalam diri Yesus. Dengan itu identitas Yesus sebagai raja mempunyai dasar ketika dilihat dari garis keturunannya.

Berkenaan dengan hari raya St. Yosef ini, perikop ini menunjuk sisi lain dari pribadi St. Yosef sebagai seorang yang memiliki jiwa besar untuk masuk dalam satu urusan yang sama sekali ia tidak ketahui atau malah melampaui daya pikirnya. Dia mesti menerima seorang anak yang bukan hasil perkawinan manusiawi dengan Maria. Menjaga citra Allah yaitu manusia baru yang hadir walau bukan merupakan hasil dari kehendak sendiri merupakan nilai tinggi dari pribadi St. Yosef. Sebab hal ini membawa banyak konsekuensi lanjutan.

Menjaga, memelihara dan menjamin keberlangsungan hidup dari manusia baru merupakan tantangan baru untuk kita pada masa sekarang. Hal ini disebabkan oleh sekian banyak peristiwa yang menunjukkan bahwa manusia, gambaran Allah, diinjak-injak martabatnya. Malah lebih sedih lagi dimusnahkan secara keji. Peristiwa-peristiwa tersebut yang hampir setiap hari dilaporkan terjadi di mana-mana mengundang kita untuk melihat dalam diri St. Yosef inpirasi, kekuatan untuk mengambil tindakan nyata melindungi dan menjamin hidup sekian banyak manusia terutama yang lemah dan tak berdaya.

Masa puasa menjadi kesempatan juga untuk memurnikan kembali arah hidup kita. Kita diajak untuk terus menerus menempatkan nilai penghargaan atas martabat manusia sebagai nilai yang patut kita perjuangkan. Mulai dalam keluarga, kelompok basis sampai pada tingkat yang paling luas: masyarakat dunia.

Sumber : http://santoantonius.blogspot.com/

St Yohanes Baptis Maria Vianney

Santo Pelindung Para Imam Seluruh Dunia
St. Yohanes Maria Vianney

“Bagaikan seekor merpati putih yang elok muncul dari tengah-tengah air dan datang mengebaskan sayap-sayapnya di atas tanah, demikianlah Roh Kudus muncul dari samudera kesempurnaan ilahi yang tak terhingga dan terbang melayang di atas jiwa-jiwa yang murni guna mencurahkan minyak kasih ke atas mereka. Roh Kudus beristirahat dalam suatu jiwa yang murni bagaikan di atas pembaringan dari bunga-bunga mawar. Dari suatu jiwa di mana Roh Kudus tinggal, memancarlah harum semerbak, bagaikan harum pohon anggur kala sedang berbunga.”
~ St Yohanes Maria Vianney

1. MASA KECIL
2. PERJUANGAN MENJADI IMAM
3. IMAM DARI ARS
4. KEDALAMAN KASIHNYA BAGI KRISTUS DAN BAGI JIWA-JIWA
5. SAKRAMEN TOBAT
6. EKARISTI: MEMPERSEMBAHKAN MISA, KOMUNI KUDUS DAN ADORASI

Tanggal 9 Februari 1818, seorang imam muda dengan penuh semangat berjalan sepanjang suatu jalanan sempit yang menghantarnya ke sebuah desa bernama Ars di Perancis Selatan. Ars akan menjadi parokinya, dan ia akan menjadi imamnya. Ketika hampir tiba, ia berlutut untuk berdoa, dan sementara ia berdoa, suatu pikiran yang aneh terlintas di benaknya, “Paroki ini tidak akan cukup menampung banyaknya orang yang akan berkunjung ke sini.”

Sungguh, suatu nubuat yang aneh. Tetapi, mengapakah orang hendak datang ke Ars? Pada waktu itu Ars adalah suatu daerah yang kumuh: 40 rumah dari tanah liat tersebar di suatu lembah, di mana suatu aliran sungai kecil mengalir perlahan. Gereja sangat payah keadaannya dengan sebuah pekuburan tak terawat di belakangnya. Penduduk di sana hanyalah para petani biasa yang acuh tak acuh terhadap iman Katolik, dan menghabiskan waktu luang mereka dengan minum-minum dan bergosip.

Walau demikian, Ars akan segera menjadi terkenal, sebab Tuhan telah mengirimkan rahmat-Nya dengan mengutus imam muda ini.

Sang imam menerima tantangan yang terbentang di hadapannya. Revolusi Perancis telah meninggalkan tanda-tanda neraka: rasionalisme dan ketidakpedulian terhadap agama; tetapi ia akan segera membangunkan penduduknya dari kelesuan dengan mewartakan kebenaran keselamatan.

Siapakah gerangan imam utusan Tuhan ini?


MASA KECIL

Yohanes Baptis Maria Vianney dilahirkan pada tanggal 8 Mei 1786 di Dardilly, sebuah dusun dekat Lyons, Perancis, dalam sebuah keluarga petani sederhana. Rumah keluarga Vianney yang terletak di antara perkebunan anggur yang indah itu telah dikenal orang dari generasi ke generasi sebagai rumah orang-orang miskin, sebagai wisma para pengemis yang berkelana. Pada tahun 1770, St Yosef Labrè merupakan salah seorang dari para pengemis itu.

Orangtua Yohanes Maria adalah Matius dan Maria Vianney. Matius adalah seorang yang saleh dan amat jujur dalam abad di mana korupsi merajalela di Perancis; Maria menonjol dalam keutamaan-keutamaan kelemah-lembutan dan kasih sayang yang memancar dari lubuk hatinya yang terdalam, sungguh pantas menjadi ibu seorang kudus.

Bahkan sebelum kelahiran St Yohanes Maria, sulung dari enam bersaudara, kerapkali sang ibu mempersembahkan calon putranya itu kepada Tuhan dan Bunda Maria; berikrar janji secara rahasia untuk mempersembahkannya di altar Tuhan. Bidan yang melayani persalinannya berseru, “Sungguh, entah anak ini akan menjadi seorang kudus besar atau seorang penjahat besar.”

Usianya baru delapanbelas bulan ketika Yohanes Maria telah belajar mengatupkan kedua tangan mungilnya dalam doa dan mengucapkan nama Yesus dan Maria. Maria Vianney akan membangunkan anak-anaknya setiap pagi, agar ia dapat memastikan mereka mempersembahkan hati mereka kepada Tuhan. Kesalehan ibunya tertanam dalam hatinya.

Pada masa kanak-kanak Yohanes Maria, karena anti-klerus, anti-gereja dari Revolusi Perancis yang pecah pada tahun 1789, para imam yang tidak menandatangani sumpah setia kepada negara, dibuang dalam pengasingan. Sebagian imam terpaksa hidup dalam persembunyian, jika tertangkap, guillotine (=hukuman pancung) telah menanti. Segera saja pintu-pintu gereja di Dardilly disegel dan paraktek iman Katolik dilarang oleh pemerintah.

Tetapi, di Lyons masih ada sekitar 30 orang imam yang setia kepada Roma, yang terus melayani sakramen-sakramen secara sembunyi-sembunyi, dengan taruhan nyawa mereka. Keluarga Vianney, tidak saja memegang teguh iman mereka selama masa penganiayaan ini, melainkan sesungguhnya semakin diperteguhlah iman mereka karenanya. Keluarga Vianney tidak pernah mau berhubungan dengan imam-imam yang bersumpah setia kepada konstitusi Perancis, yang anti-Gereja; pun mereka tidak mengijinkan anak-anak mereka belajar di sekolah-sekolah negeri, meskipun hukuman berat dikenakan terhadap mereka yang tidak menyekolahkan anak-anak mereka. Sebaliknyalah, mereka terus mendaraskan doa-doa harian dan mengajarkan katekese di rumah. Sekali waktu, seorang imam yang setia kepada Roma akan datang untuk mempersembahkan Misa secara sembunyi-sembunyi. Dalam situasi seperti itu, Yohanes Maria harus menerima Komuni Pertamanya secara sembunyi-sembunyi kala usianya 13 tahun.

Kejahatan Revolusi Perancis, yang menyebabkan penyelewengan begitu banyak imam, menanamkan rasa ngeri akan dosa dalam diri Yohanes Maria, sekaligus semangat yang berkobar untuk menjadi seorang yang saleh. Ia biasa berkata, “Oh, andai aku seorang imam, aku akan berjuang untuk memenangkan sebanyak mungkin jiwa-jiwa bagi Tuhan.”


PERJUANGAN MENJADI IMAM

Pada tahun 1799 Napoleon Bonaparte menjadi penguasa absolut Perancis. Ia memerdekakan Gereja, sehingga Misa Kudus kembali dapat dirayakan secara umum dan Tuhan kita dalam Sakramen Mahakudus dapat ditahtakan di altar. Yohanes Maria segera saja setia mengadakan kunjungan-kunjungan kepada Sakramen Mahakudus. Penggembala domba yang telah menjadi seorang pemuda berusia 18 tahun itu merasa mantap untuk menjawab panggilan hatinya menjadi seorang imam. Sungguh sayang, Matius tidak mengijinkan putranya masuk seminari; tidak akan mampu ia membiayai sekolah putranya, lagipula ia sudah semakin tua dan membutuhkan tenaga Yohanes Maria untuk bekerja di pertanian. Sia-sia saja Maria memohon kepada suaminya. Sepanjang waktu itu, St Yohanes menyimpan semuanya dalam hati, menyerahkan diri sepenuhnya kepada kehendak Allah yang kudus.

Pada tahun 1806, Abbè Balley, salah seorang dari dua imam yang paling berpengaruh dalam keluarga Vianney, membuka sebuah sekolah kecil di pastoran di Ecully, guna mempersiapkan anak-anak lelaki untuk panggilan imam. Matius setuju dan memperbolehkan Yohanes belajar di sana. Tetapi, pada awalnya Abbè Balley enggan menerima Yohanes Maria, sebab pendidikannya tidak memadai, ia hanya tahu membaca dan menulis, itu saja; pula usianya sudah sembilanbelas tahun. Yohanes yakin akan panggilannya, jadi ia mendesak; Abbè Balley akhirnya berubah pendirian setelah ia mengetahui betapa banyak Yohanes mengenal kisah para kudus. Pada tahun 1807, Yohanes Maria menerima Sakramen Penguatan dan menambahkan Baptis dalam namanya.

Belum lama belajar di seminari, setahun kemudian muncul halangan berikutnya. Napoleon Bonaparte sangat membutuhkan tenaga prajurit, jadi, meski sebenarnya bebas dari wajib militer, Yohanes Maria bersama para seminaris lainnya dipanggil untuk masuk dinas militer. Mereka diperintahkan untuk melaporkan diri ke markas di Loyons. Tetapi, dua hari setelah menerima instruksi, ia sakit dan harus dirawat di rumah sakit sehingga teman-temannya meninggalkannya. Pada tanggal 5 Januari 1809, sementara masih dalam taraf penyembuhan, ia telah diperintahkan untuk melapor di Roanne untuk suatu wajib militer keesokan harinya. Teman-teman seperjalanan meninggalkan Yohanes Maria, karena ia bersikeras singgah terlebih dahulu di gereja untuk berdoa. Ia berusaha menyusul mereka di Renaison, walau peralatan militer yang ada padanya hanyalah sebuah ransel.

Sepanjang perjalanan, Yohanes berdoa rosario. Ketika mendekati pegunungan Le Forez, hari telah siang; karena kecapaian, ia berhenti untuk beristirahat, bertanya-tanya dalam hati di manakah ia akan dapat menemukan tempat berteduh dalam musim dingin seperti ini. Sekonyong-konyong, muncul seorang yang menyebut diri sebagai Guy. Guy memungut ransel Yohanes dan menghantarnya lewat naik ke suatu jalan pegunungan ke sebuah gubug dekat dusun Les Noës yang terpencil. Keesokan harinya Yohanes Maria beranggapan bahwa Guy pastilah salah seorang pelarian dari dinas militer yang banyak bersembunyi di hutan-hutan dan bukit-bukit. Jika berteman dengan Guy, ia khawatir akan dianggap seorang pelarian juga. Maka, setelah mempertimbangkan situasi, Yohanes melaporkan diri kepada ketua komunitas di sana. Tuan Fayot adalah seorang yang peramah dan bijaksana; ia menjelaskan kepada Yohanes bahwa secara teknis ia sudah seorang pelarian, dan menasehatkan yang terbaik baginya adalah tinggal di pengasingan di mana ia berada sekarang. Tuan Fayot memberikan tumpangan kepada Yohanes di rumah sepupunya, seorang janda yang baik hati, di mana Yohanes tinggal dalam persembunyian di kandang selama 14 bulan lamanya. Sebagai ungkapan terima kasih, Yohanes memberikan pelajaran kepada anak-anak sang janda. Beberapa kali Yohanes nyaris tertangkap oleh militer, satu kali bahkan ia merasakan ujung pedang di antara tulang-tulang rusuknya sementara pedang dihunuskan ke tumpukan jerami, di mana ia bersembunyi.

Sungguh beruntung, pada tahun 1810, sehubungan dengan pernikahannya dengan puteri bangsawan Marie-Louise, Bonaparte memberikan amnesti umum kepada semua pelarian; dengan demikian, Yohanes Maria bebas pulang ke rumah. Bulan Februari, di tengah kebahagiaan pulangnya putra kesayangan, Maria Vianney meninggal dunia. Sejak itu, St Yohanes Maria Vianney tidak lagi memiliki keterikatan duniawi apapun. Usianya sekarang sudah 24 tahun.

Tahun berikutnya Yohanes Maria menerima Tonsura (= upacra pemangkasan rambut calon imam sebelum menerima tahbisan rendah; upacara ini dihapuskan sejak 1972), kemudian belajar filsafat setahun lamanya di seminari menengah di Verrières. Ketika kembali di seminari, Yohanes Maria mempersembahkan diri kepada Bunda Maria, mempercayakan diri sepenuhnya ke dalam tangan-tangan kudusnya, mempersembahkan segala perbuatan-perbuatan baiknya di masa lampau, masa sekarang, dan masa mendatang, ke dalam perlindungan keibuannya, dengan cara seperti yang diajarkan oleh St. Louis de Montfort, seorang santo besar Perancis yang amat berpengaruh dalam memelihara iman umat di wilayahnya selama masa penganiayaan.

Pada tahun 1813, Yohanes Maria melanjutkan studinya di seminari tinggi di Lyons. Sejak itu ia dikenal sebagai Abbè Vianney, sebab ia telah menerima Tonsura tahun sebelumnya. Di antara 250 seminaris yang ada di sana, Abbè Vianney terkenal karena laku tapa, silih, kerendahan hati dan permenungannya yang mendalam. Tetapi, dalam bidang akademis ia amat lemah; ia sulit sekali belajar dan menghafal. Walau telah berjuang sekuat tenaga, ia tidak pernah berhasil menguasai bahasa Latin; sebab itu Abbè Vianney dijuluki sebagai “seminaris paling bodoh, namun paling saleh di Lyons”. Enam bulan kemudian, yang berwenang terpaksa harus mengeluarkannya dari seminari sebab pengetahuan akademisnya sungguh buruk.

Nyaris putus asa, Abbè Vianney mendengar suatu suara yang menghiburnya untuk tidak bersedih hati, sebab suatu hari kelak ia akan sungguh menjadi seorang imam. Abbè Balley juga tak hendak menyerah, ia secara privat membimbing Abbè Vianney dan segera mengirimnya kembali untuk mengikuti ujian tahbisan rendah dan diakonat. Kali ini, ujian diberikan dalam bahasa Perancis dan ia berhasil lulus; sesungguhnya para penguji mencatat bahwa ia “memberikan jawaban-jawaban yang sungguh bagus serta memuaskan....”

Kesalehan Yohanes Maria Vianney terdengar juga oleh Bapa Uskup. Beliau bertanya, “Apakah ia berdevosi kepada Bunda Maria? Apakah ia setia mendaraskan rosario? Apakah ia sungguh seorang teladan kesalehan? Baguslah jika demikian! Aku memanggilnya untuk datang dan ditahbiskan! Gereja tidak hanya membutuhkan imam-imam yang terpelajar, tetapi, terlebih lagi, imam-imam yang saleh;” demikian Uskup, “rahmat Tuhan akan melakukan selanjutnya.”

Akhirnya, pada tanggal 2 Juli 1814, pada pesta SP Maria Mengunjungi Elisabet, Abbè Vianney ditahbiskan sebagai subdiakon dan pada tanggal 12 Agustus 1815, ia ditahbiskan menjadi imam untuk selamanya. Pada mulanya, karena pengetahuannya dianggap tidak mencukupi, yang berwenang tidak memperkenankan P Vianney melayani Sakramen Pengakuan Dosa; tetapi ternyata Tuhan suka bergurau juga, sebab tak lama lagi ia akan harus melayani pengakuan dosa hingga 18 jam dalam sehari!

P Vianney ditugaskan sebagai imam pembantu P Balley di Ecully hingga pembimbingnya itu wafat pada tahun 1817. Awal tahun 1818, P Vianney ditugaskan sebagai imam paroki sebuah dusun kecil Ars-en-Dombes yang berpenduduk 230 jiwa. Ia mengabdi di sana selama 41 tahun lamanya, dan buahnya sungguh luar biasa!


IMAM DARI ARS

“Suatu hari di musim semi, aku sedang dalam perjalanan mengunjungi seorang yang sakit; semak dan perdu dipenuhi kawanan burung-burung kecil yang bernyanyi sepuas hati. Aku menikmati kicauan mereka, dan lalu berkata kepada diriku sendiri, `Burung-burung kecil yang malang, kalian tidak tahu apa yang kalian lakukan. Sungguh malang! Kalian menyanyikan pujian bagi Tuhan!”
~ St Yohanes Maria Vianney

Tugasnya sebagai imam paroki di Ars sungguh sulit: dibutuhkan beberapa tahun untuk menutup kedai-kedai minum, delapan tahun untuk menghentikan aktivitas perdagangan di hari Minggu, dan duapuluh lima tahun untuk membuat masyarakat di sana berpakaian sopan dan berhenti berdansa-dansi dengan tidak sopan. Tak henti-hentinya ia berdoa bagi para pendosa, juga menanggung banyak penderitaan bagi mereka. “Menderita dengan penuh kasih, adalah tidak lagi menderita,” katanya.

Pada mulanya, sekedar karena rutinitas belaka, penduduk desa akan datang untuk merayakan Misa pada hari Minggu, dan selesai sudah. Bahkan alasan-alasan yang paling remeh sekalipun sudahlah cukup bagi mereka untuk absen dari Misa. Hanya pada hari-hari Minggu saja P Vianney mendapatkan kesempatan untuk memperbaiki hidup mereka pada umumnya. Sebab itu, pada hari-hari lain dalam pekan, P Vianney akan mengunjungi pertanian-pertanian dan pondok-pondok ketika orang-orang sedang beristirahat untuk makan siang. Ia akan berdiri, bersandar di pinggiran pintu sambil berbicara kepada mereka mengenai pertanian. Tetapi, selalu saja, sebelum pergi ia berhasil mengalihkan pembicaraan ke surga. Sesudah itu, ia akan terlihat berjalan melintasi padang seraya mendaraskan Rosario.

Orang kudus kita ini belum menganggap desanya bertobat hingga keduaratus penduduk desa seluruhnya mengamalkan Sepuluh Perintah Allah, Kelima Perintah Gereja dan menunaikan praktek-praktek kesalehan setiap hari. Ia berbicara mengenai kesopanan dalam berbusana, sebab ia tahu bahwa kesopanan adalah perwujudan lahiriah dari kemurnian, dan ia menuntut kesopanan sepanjang waktu, tidak saja di gereja. Tetapi, dosa yang membuatnya paling banyak menangis sedih adalah dosa hujat, pencemaran Nama Allah yang kudus. Ia biasa mengatakan bahwa adalah suatu mukjizat para penghujat tidak mati disambar petir seketika. Ia memperingatkan penduduk desa bahwa “jika dosa hujat biasa dilakukan dalam rumahmu, maka, ia - rumahmu - akan binasa.”

Dari sini tampak jelas bahwa P Vianney tidak mau menolerir dan tidak mau berkompromi dalam segala hal yang menyangkut dosa, sungguh, amat mirip benar dengan St Yohanes Pembaptis, santo pelindungnya.

Dua mukjizat yang terjadi membantu P Vianney mendapatkan perhatian dan kepercayaan umat. Pada tahun 1824, P Vianney mendorong Katarina Lassagne dan Benedicta Lardet untuk membuka sebuah sekolah cuma-cuma bagi anak-anak perempuan, yang tiga tahun kemudian telah menjadi sebuah lembaga yang dikenal sebagai La Providence, tempat penampungan anak-anak yatim piatu dan anak-anak terlantar. Pintu selalu terbuka bagi siapa saja, terkadang jumlah yang tinggal di sana mencapai 60 orang; sehingga jumlah dana yang tersedia tidak selalu dapat mencukupi kebutuhan. Suatu ketika, hanya ada sedikit pounds tepung; tetapi berkat doa P Vianney, juru masak dapat membuat sepuluh ketul roti 20 pounds darinya! Di lain kesempatan, gudang yang nyaris kosong sekonyong-konyong menjadi penuh dengan gandum yang berlimpah! Maka, penduduk desa berkata, “Imam kita adalah seorang kudus, kita harus taat kepadanya.”

Dan sungguh, pada tahun 1827, damai telah meliputi Ars sebab semua yang tinggal di sana hidup selaras dengan Rancangan Ilahi. Orang-orang di segenap penjuru Perancis mendengar apa yang telah terjadi di Ars; banyak dari antara mereka yang datang mencari kedamaian di sana dan menemukannya dalam kamar pengakuan dosa imam yang kudus itu.


KEDALAMAN KASIHNYA BAGI KRISTUS DAN BAGI JIWA-JIWA

“Di pagi hari, patutlah kita berbuat seperti seorang kanak-kanak kecil dalam buaiannya. Begitu membuka matanya, kanak-kanak itu memandang sekeliling rumah mencari-cari ibunya. Apabila ia melihatnya, kanak-kanak itu mulai tersenyum; namun apabila ia tidak melihatnya, ia menangis.”
~ St Yohanes Maria Vianney

Rahasia kemurahan hati St YM Vianney tak diragukan lagi terletak dalam kasihnya kepada Tuhan, memberikan diri tanpa batas sebagai tanggapan terus-menerus akan kasih Allah yang dinyatakan dalam Kristus yang tersalib. Atas dasar inilah ia rindu melakukan apa saja demi menyelamatkan jiwa-jiwa yang telah ditebus Kristus dengan harga yang sedemikian mahal, dan membawa mereka pulang kembali ke dalam pelukan kasih Allah. Dalam khotbah-khotbah dan katekesenya, ia senantiasa kembali kepada kasih itu, “Ya Tuhan-ku, lebih baiklah aku mati mencintai-Mu daripada hidup barang sejenak tanpa mengasihi-Mu.... Aku mengasihi Engkau, ya Juruselamat Ilahi-ku, sebab Engkau telah disalibkan bagi kami... sebab aku telah disalibkan bagi-Mu.”

Demi Kristus, ia berusaha keras untuk menyelaraskan hidupnya sendiri tepat seperti tuntutan radikal Yesus kepada para murid yang diutus-Nya: doa, kemiskinan, kerendahan hati, penyangkalan diri, matiraga sukarela. Dan seperti Kristus, ia memiliki kasih yang begitu besar kepada kawanan-Nya hingga ia membimbing mereka dalam komitmen pastoral dan kurban diri yang sepenuh-penuhnya. Ia begitu dikuasai kerinduan untuk merenggut jiwa-jiwa dari dosa suam-suam kuku. “Ya Tuhan-ku, anugerahkanlah kepadaku pertobatan parokiku: aku bersedia menanggung penderitaan apapun yang Engkau kehendaki sepanjang hidupku.” Melalui St YM Vianney, yang mempersembahkan segenap kekuatan dan segenap hatinya kepada-Nya, Yesus menyelamatkan jiwa-jiwa.

Pada mulanya, parokinya hanya berpenduduk 230 jiwa ketika ia datang; mereka begitu acuh tak acuh dan nyaris tak ada praktek keagamaan di sana. Uskup telah memperingatkan St YM Vianney, “Tidak banyak kasih akan Tuhan di paroki itu, engkaulah yang akan menanamkannya di sana.” Tetapi segera saja, melampaui parokinya sendiri, imam dari Ars menjadi “pastor banyak orang” yang datang dari seluruh negeri, dari segenap pelosok Perancis dan juga dari negera-negara lain. Konon, terhitung ada 80.000 orang yang datang ke Ars pada tahun 1858! Terkadang orang harus menunggu selama beberapa hari agar dapat bertemu dan mengakukan dosa kepadanya. Apa yang menarik mereka datang kepadanya bukanlah hanya sekedar keingintahuan atau bahkan reputasi baik yang diperkuat dengan mukjizat-mukjizat dan penyembuhan-penyembuhan luar biasa, yang sesungguhnya ingin disembunyikan orang kudus kita ini. Melainkan, terlebih orang sadar akan bertemu dengan seorang santo, kagum akan matiraganya, begitu akrab dengan Tuhan dalam doa; damai dan kerendahan hatinya yang luar biasa di tengah popularitas, dan terlebih lagi intuisinya dalam menanggapi disposisi batin jiwa-jiwa dan dalam membebaskan jiwa-jiwa dari beban mereka, teristimewa dalam kamar pengakuan. Ya, Tuhan telah memilih sebagai teladan para imam, seorang yang penampilannya miskin, lemah, rapuh dan tak diperhitungkan dalam pandangan manusia. Ia menganugerahinya dengan karunia-karunia terbaik sebagai pembimbing dan penyembuh jiwa-jiwa.


SAKRAMEN TOBAT

“Suatu ketika, seekor serigala yang buas masuk ke desa dan melahap segala yang ada. Dalam perjalanan ia menemukan seorang kanak-kanak kecil berusia dua tahun, maka ditangkapnya kanak-kanak itu dengan rahangnya, dan dibawanya pergi; tetapi beberapa penduduk desa yang sedang bekerja di kebun anggur mengejar dan menyerangnya, lalu merenggut sang kanak-kanak darinya. Demikian pula halnya Sakramen Tobat merenggut kita dari cengkeraman si iblis.”
~ St Yohanes Maria Vianney

“Apabila kita pergi mengaku dosa, haruslah kita paham akan apa yang sedang kita lakukan. Dapat dikatakan kita sedang melepaskan Tuhan kita dari salib. Apabila engkau mengaku dosa dengan baik, engkau telah membelenggu si iblis. Dosa-dosa yang kita sembunyikan semuanya akan tersingkap.”
~ St Yohanes Maria Vianney

Perhatian pertama Imam dari Ars adalah menanamkan dalam diri umat beriman kerinduan untuk bertobat. Ia menekankan indahnya kasih pengampunan Tuhan. Bukankah seluruh kehidupan imamat dan segenap kekuatannya dipersembahkan demi pertobatan orang-orang berdosa? Di atas segalanya, dalam pengampunanlah belas kasih Allah tampak nyata. Jadi, ia tak hendak menghindarkan diri dari para peniten yang datang dari segala penjuru negeri. Bagi dirinya, jelas pelayanan ini merupakan matiraganya yang paling besar, suatu bentuk kemartiran. Pertama, kemartiran dalam arti jasmani, karena panas, dingin atau pengapnya udara dalam kamar pengakuan. Kedua, kemartiran dalam arti moral, sebab ia sendiri menderita akibat dosa-dosa yang diakukan kepadanya dan terlebih lagi ia tersiksa karena kurangnya rasa sesal para peniten. “Aku menangis, sebab engkau tidak menangis.” Di hadapan orang-orang yang suam-suam kuku ini, yang disambutnya dengan segenap kasih dan berusaha dibangkitkan kasihnya akan Allah, Tuhan memampukan St YM Vianney untuk mendamaikan kembali pendosa-pendosa berat yang bertobat dan juga membimbing jiwa-jiwa yang haus untuk mencapai kesempurnaan. Di sinilah, di atas segalanya, Tuhan meminta imamnya yang kudus itu untuk ikut ambil bagian dalam karya Penebusan-Nya.

Suatu hari, setelah meninggalkan kamar pengakuan untuk mempersembahkan Misa, St YM Vianney melewati seorang gadis yang bersiap pergi karena telah putus asa untuk dapat bertemu dengan sang imam. Dengan ramah P Vianney menyapanya, “Engkau tidak cukup sabar, anakku. Engkau baru tiga hari di sini dan engkau sudah hendak pulang? Engkau harus tinggal limabelas hari lamanya dan berdoa mohon bantuan Santa Philomena untuk mengatakan apa panggilan hidupmu, dan sesudah itu, barulah engkau datang menemuiku.” Gadis itu melakukannya dan di kemudian hari menjadi seorang biarawati. Di lain waktu, P Vianney keluar dari kamar pengakuan guna mempersilakan seorang ibu yang masih dalam antrian untuk segera masuk, sebab ia tahu bahwa ibu itu tak dapat menunggu lebih lama; 16 orang anaknya menanti.

Dengan discernment (= pembedaan roh) yang tak ada bandingannya P Vianney akan menemukan akar dari segala masalah dan tanpa ragu mendesak agar akar masalah itu segera disembuhkan. Lalu, ia akan menganjurkan cara-cara agar orang dapat tinggal dalam keadaan rahmat, dan bagaimana menolak kesempatan dosa. Waktu yang diberikan kepada masing-masing peniten cukup singkat sebab antrian amat panjang dan waktu amat berharga. Terkadang ia harus melayani 400 pengakuan dosa dalam sehari.

Jumlah peniten yang membanjiri Ars juga berarti kerja keras yang akan segera meremukkan mereka yang tidak memiliki kekuatan spiritual sedemikian. Pada bulan-bulan musim dingin, P Vianney melewatkan hingga 12 jam sehari dalam kamar pengakuan; dalam bulan-bulan musim panas, meningkat hingga 16 jam sehari. Dibutuhkan waktu setengah jam baginya untuk pindah dari gereja ke pastoran oleh sebab banyaknya orang yang berdesak-desakan meminta berkat dan doanya. Ia tidur hanya empat jam setiap malam dan dini hari telah bersiap kembali untuk mendengarkan pengakuan dosa mereka yang telah menantinya di gereja.

Pada awal pelayanannya sebagai bapa pengakuan, salah seorang rekan imam yang iri kepadanya memperingatkan St YM Vianney melalui sebuah surat bahwa seorang imam yang hanya tahu sedikit theologi seperti dia, sepatutnya tidak berani masuk ke dalam kamar pengakuan. Sebagian rekan imam lain yang juga iri mendakwanya sebagai bodoh, dukun klenik, kacau mental, gila dan mulai menyebarkan fitnah keji tentangnya. Menanggapi pengaduan mereka, Monsignor Devie, mengatakan, “Saya harap, saudara-saudara, seluruh imam saya memiliki kegilaan yang sama dengannya.”

St YM Vianney sendiri mengatakan, “Pertentangan menghantar kita ke Kaki Salib, dan Salib menghantar kita ke pintu gerbang surga....”


EKARISTI: MEMPERSEMBAHKAN MISA, KOMUNI KUDUS DAN ADORASI

“Kala ibunda St Alexis akhirnya mengenali puteranya dalam tubuh tak bernyawa seorang pengemis yang telah tigapuluh tahun tinggal di bawah tangga istananya, ia berseru pilu, `Oh, puteraku, puteraku, mengapakah aku begitu terlambat mengenalimu?' … Jiwa, saat lepas dari kehidupan ini, akan melihat Dia yang hadir nyata dalam Ekaristi Kudus; dan melihat penghiburan, keagungan dan kemuliaan yang gagal dikenalinya, jiwa juga akan berseru pilu, `Oh, Yesus! Oh, Yesus! Mengapakah aku begitu terlambat mengenali Engkau?'”
~ St Yohanes Maria Vianney

“Adalah seorang yang memiliki keraguan akan Kehadiran Nyata, katanya, `Apakah yang kita ketahui mengenainya? Suatu ketidakpastian. Apakah itu konsekrasi? Apakah yang terjadi di atas altar saat itu?' Tetapi ia rindu untuk percaya, dan ia berdoa kepada Santa Perawan untuk memperolehkan iman baginya. Dengarkanlah baik-baik. Aku tidak mengatakan bahwa hal ini terjadi di suatu tempat lain, tetapi aku mengatakan bahwa hal ini terjadi pada diriku sendiri. Saat laki-laki ini maju untuk menyambut Komuni Kudus, Hosti Kudus terlepas dengan sendirinya dari jari-jariku sementara aku masih sedang berjalan; Ia terbang dan menempatkan Diri di atas lidah orang itu.”
~ St Yohanes Maria Vianney

Kedua sakramen ini, Sakramen Tobat dan Sakramen Ekaristi berhubungan sangat erat. Tanpa pertobatan yang senantiasa diperbaharui terus-menerus dan penerimaan rahmat sakramental pengampunan dosa, keikutsertaan dalam Ekaristi tidak akan mencapai kepenuhan daya penebusannya. Seperti Kristus yang memulai pelayanan-Nya dengan kata-kata, “Bertobatlah dan percayalah kepada Injil!” demikian pula Imam dari Ars biasa memulai setiap harinya dengan pelayanan pengampunan dosa. Kemudian, dengan suka hati ia akan menghantarkan para peniten yang telah diperdamaikan itu ke perjamuan Ekaristi.

Ekaristi adalah sumber dan pusat kehidupan rohani dan karya pastoralnya. Katanya, “Segala perbuatan-perbuatan baik digabung menjadi satu masih tidak sebanding dengan Kurban Misa, sebab perbuatan-perbuatan baik itu adalah karya manusia, sedangkan Misa Kudus adalah karya Allah.” Dalam Misa, Kurban Kalvari dihadirkan kembali demi Penebusan dunia. Jelas, imam haruslah mempersatukan persembahan dirinya setiap hari dengan persembahan Misa Kudus. St YM Vianney mengatakan, “Karenanya, betapa baiknya yang dilakukan imam dalam mempersembahkan dirinya sendiri kepada Tuhan dalam kurban setiap pagi!” Lagi, “Komuni Kudus dan Kurban Kudus Misa adalah dua tindakan yang paling berdaya guna dalam mendatangkan pertobatan hati.”

Dengan demikian, Misa bagi St YM Vianney adalah sukacita dan penghiburan besar dalam kehidupan imamatnya. Kendati banyaknya peniten yang menanti, ia biasa menghabiskan lebih dari seperempat jam dalam hening persiapan Misa. Ia merayakan Ekaristi dengan khusuk, dengan jelas mengungkapkan sembah sujudnya saat konsekrasi dan komuni. Dengan tepat ia mengatakan, “Penyebab dari kecerobohan imam adalah tidak memberikan perhatian pada Misa!”

Imam dari Ars teristimewa sekali mencurahkan perhatian pada kehadiran nyata Kristus yang abadi dalam Ekaristi. Di hadapan tabernakel, ia biasa melewatkan berjam-jam lamanya dalam sembah sujud, entah dini hari atau sore hari. Dalam menyampaikan homili, kerap kali ia berpaling kepada tabernakel seraya berseru penuh emosi, “Ia ada di sana!” Karena alasan ini juga ia, walau miskinlah parokinya, tidak sayang-sayang membelanjakan banyak uang untuk menghiasi gereja-Nya. Gereja direnovasi dan didekorasi dengan patung-patung dan gambar-gambar kudus, sebab St YM Vianney percaya bahwa sekedar tatapan pada gambar atau patung kudus dapat mempertobatkan jiwa. Hasil nyatanya yang luar biasa adalah umat dalam parokinya segera saja ikut pula datang berdoa di hadapan Sakramen Mahakudus, guna menemukan, lewat teladan imam mereka yang kudus, keagungan misteri iman. Gereja tidak pernah kosong, selalu saja ada orang di sana, di hadapan Sakramen Mahakudus.

lihat halaman selanjutnya...

Sumber: 1.“St. John Marie Vianney, Patron of Parish Priests”; www.catholictradition.org; 2.“Saints Of the Day by Katherine I. Rabenstein”; www.saintpatrickdc.org; 3.“Pope John Paul II - The Curé of Ars - 16 March 1986”; 4. berbagai sumber

Diperkenankan mengutip / menyebarluaskan artikel di atas dengan mencantumkan: “disarikan dan diterjemahkan oleh YESAYA: www.indocell.net/yesaya”

SMAD-LOCK Remover

Sebuah komentar mampir di artikel “dVoider” komentar dari saudara (apa saudari yah?) Yuyun ini menginformasikan sebuah fitur baru dari antivirus lokal SMADAV yang membuat autorun.inf pada usb flashdisk menjadi tidak dapat dihapus “sehingga HAMPIR TIDAK MUNGKIN lagi terinfeksi virus”.. fitur yang terinspirasi dari Panda USB Vaccine ini menurut saya sangat bagus karena memang akan mencegah banyak worm lawas untuk membuat file autorun.inf sebagai salah satu metode pemicu tereksekusinya file worm, tapi tidak selalu semua orang membutuhkan fitur ini sementara SMADAV secara otomatis akan mengaktifkan fitur Smad-Lock tanpa adanya konfirmasi terlebih dahulu. Nah bagi anda yang memiliki banyak data yang tersimpan di flashdisk dan karena suatu alasan tertentu ingin meremove proteksi Smad-Lock tanpa harus memformat ulang, bisa menggunakan program sederhana yang penulis buat (8 kb).

Smover atau Smad-Lock Remover akan membuatnya sangat mungkin untuk Anda. Source code Smover ini adalah sebagian kecil dari trik rahasia yang akan diulas pada buku Computer Worm 3.


DOWNLOAD DISINI


Posted by: Achmad Darmal | June 8, 2009 |

Santo Vinsensius, Bapak Orang Miskin (Biografi Singkat)


Siapa gerangan orang ini” (Mk.4:41)

Pada tanggal 27 September 1660 Vinsensius de Paul wafat di Rumah Pusat CM, Saint-Lazare, di pinggiran kota Paris. Hampir delapan puluh tahun sebelumnya dia lahir dari keluarga kecil, di suatu desa kecil. Mungkin karena itu, selama hidupnya, dia ingin mencari perlindungan di tengah-tengah hal kecil. Sambil membaca surat-suratnya, kita bisa tersenyum melihat bahwa segala-galanya yang berhubungan dengan dia disebutnya “kecil”. CM disebut “serikat kecil’ atau “keluarga kita yang kecil”. Pagi hari bersama seluruh komunitas Vinsensius melakukan meditasi selama satu jam dan setelah itu dia mempersembahkan Misa serta membaca bagian Ibadat Harian yang sesuai: Itu pun disebut “doa-doa saya yang kecil”. Karya serta kegiatan yang dilakukannya mendapat sebutan yang sama: “pelayanan-pelayanan yang kecil”. Cara hidup CM menjadi “cara hidup kami yang kecil”, dan peraturan CM menjadi “peraturan kita yang kecil”, dan lain-lain.

Kecil itu indah, dikatakan oleh manusia modern. Tetapi nampaknya falsafah ini belum terpikirkan oleh manusia abad XVII. Falsafah Vinsensius ialah kerendahan hati yang mendarah daging dalam hidupnya. Kerendahan hati itu tidak mencetak manusia yang penuh frustrasi dan minder, melainkan manusia yang optimis karena percaya kepada Allah: “Ketidakpercayaan pada kemampuan diri sendiri itu harus merupakan dasar untuk percaya kepada Allah”[1]

Orang “kecil” ini ternyata mendapat perhatian yang sangat besar selama hidupnya dan setelah kematiannya. Raja, Pangeran, Kardinal, Uskup sampai rakyat kecil berlomba untuk mengunjungi dan memberi hormat kepada jenazahnya yang disemayamkan di Gereja Saint-Lazare. Setelah itu lebih dari 1500 buku telah diterbitkan untuk menceritakan hidupnya dalam pelbagai bahasa.

Maka kita juga dapat bertanya: “Siapa gerangan orang ini?” Supaya cerita tentang Vinsensius dan karya-karyanya lebih jelas, kami menyusun buku ini dalam lima bagian, berdasarkan buku: San Vincenzo de’ Paoli, karangan José María Román, CM.

I Masa muda (1581-1609)

Tanggal kelahiran Vinsensius masih diperdebatkan. Biasanya dikatakan bahwa Vinsensius lahir tanggal 24 April 1581, di desa Pouy, dekat kota Dax, Perancis barat daya. Keluarganya sungguh sederhana, meskipun tidak amat miskin. Karena itu sejak kecil Vinsensius ikut membantu bekerja sebagai penjaga ternak.

Pada umur 15 tahun, keluarga dan desa ditinggalkannya untuk belajar di suatu asrama yang dipimpin oleh para imam Fransiskan di kota Dax. Selama di kota itu Vinsensius menjadi pengasuh anak-anak keluarga de Comet. Dengan demikian Vinsensius bekerja sambil belajar. Mulai saat itu keluarga de Comet menjadi pendukung Vinsensius dalam banyak usahanya, antara lain dengan menuntun Vinsensius ke jenjang imamat. Ternyata di Dax Vinsensius menerima tahbisan-tahbisan kecil.

Setelah dua tahun Vinsensius pindah ke Universitas Toulouse berkat pengorbanan ayahnya yang menjual sepasang lembu untuk memungkinkan anaknya melanjutkan studi. Studinya diselesaikan di Toulouse pada tahun 1604 dengan gelar BA dalam bidang teologi. Sebelum itu ia telah ditahbiskan sebagai imam pada tanggal 23 September 1600. Saat itu umurnya baru 19 tahun lebih 5 bulan.

Tentu tahbisan sebagai imam pada umur demikian muda mengundang pertanyaan: Ada apa di belakang? Lebih-lebih kalau kita melihat bahwa Vinsensius berusaha ditahbiskan di luar keuskupannya, di tempat yang sangat jauh (Château l’Évêque, Keuskupan Périgueux), oleh seorang Uskup yang sudah berumur delapan puluh empat tahun dan satu bulan kemudian meninggal. Mungkin peristiwa-peristiwa yang terjadi kemudian memberi terang juga mengenai tahbisan Vinsensius, khususnya mengenai apa yang dikejar Vinsensius melalui imamat.

Setelah menjadi imam, Vinsensius berusaha memperoleh kedudukan yang sepadan dengan jabatannya itu. Pertama-tama dia berjuang untuk menjadi Pastor Paroki Thil, tidak jauh dari desa asalnya. Untuk itu ia mendapat pengangkatan dari Vikaris Jenderal Keuskupan Dax. Sayangnya pada waktu itu seorang imam lain sudah diangkat untuk Paroki yang sama dan pengangkatannya berasal dari Roma. SK Vikjen tentu tak banyak berarti di hadapan SK dari Roma. Vinsensius tidak putus asa. Pada tahun 1601 dia pergi ke Roma untuk memperjuangkan kariernya. Setelah beberapa bulan imam muda itu terpaksa kembali ke Toulouse tanpa hasil.

Rencana Vinsensius berikutnya lebih berani, “demikian berani sehingga saya malu mengatakannya”[2], tulis Vinsensius sendiri. Kemungkinan besar ia ingin menjadi uskup. Tetapi untuk itu diperlukan banyak uang. Untunglah seorang ibu mewariskan kepadanya 400 écus[3], jumlah uang yang cukup besar, sama dengan gaji seorang pegawai menengah atas selama empat tahun. Sialnya, uang itu dibawa lari oleh seorang bajingan. Vinsensius mengejarnya sampai Marseille dan akhirnya mendapat 300 écus. Dalam perjalanan pulangVinsensius ditangkap bajak laut, dibawa ke Tunis (Afrika Utara) dan dijual sebagai budak. Selama dua tahun Vinsensius berganti beberapa majikan. Majikan terakhir dipertobatkannya dan bersama-sama mereka berdua melarikan diri ke Perancis.

Cerita mengenai perbudakan itu ditulis oleh Vinsensius sendiri dalam dua surat kepada Bapak de Comet[4]. Tetapi kebenaran isi dua surat itu, yaitu kebenaran cerita mengenai perbudakan Vinsensius, diperdebatkan oleh ahli sejarah. Yang jelas rencana Vinsensius untuk menjadi uskup itu pun gagal.

Vinsensius tidak putus asa. Pada tahun 1607, sekembalinya dari Afrika Utara, dia menjumpai utusan Paus yang berkedudukan di Avignon. Karena masa jabatannya selesai, Mgr. Pietro Montorio, demikianlah namanya, mengajak Vinsensius ke Roma. Vinsensius ikut dengan gembira, karena pejabat Gereja itu menjanjikan pertolongannya agar imam muda itu memperoleh suatu jabatan yang menguntungkan.

Pada akhir tahun 1608 Vinsensius berada di Paris, sekali lagi tanpa hasil, tetapi dengan keinginan besar untuk maju dalam karier. Sebuah surat yang ditulis Vinsensius kepada ibunya tgl. 17 Februari 1610, menggambarkan keadaannya dengan cukup jelas:

“Ibuku, ……saya gelisah, karena saya terpaksa tinggal di kota ini guna memperoleh kesempatan untuk maju dalam karier saya. Memang sampai sekarang musibah-musibah beruntun menghalangi saya, sehingga saya tidak dapat mengabdi kepada Ibu sesuai kewajiban saya. Namun saya menaruh harapan pada Tuhan, semoga Dia sudi memberkati segala usaha saya dan segera memberi saya jalan agar saya dapat mengundurkan diri dengan tenang dan untuk selanjutnya tinggal dekat Ibu … Saya ingin agar kakak saya menyuruh salah seorang anaknya belajar. Musibah-musibah yang telah saya alami serta kenyataan bahwa saya belum bisa memberi bantuan kepada keluarga, mungkin membuat dia putus asa. Namun kita tahu bahwa kegagalan masa kini adalah petunjuk keberhasilan untuk masa mendatang …”[5].

Surat kepada ibunya ini memperlihatkan dengan jelas cita-cita Vinsensius pada masa itu: 1. Maju dalam karier; 2. Memberi bantuan ekonomi bagi keluarganya; 3. Mengundurkan diri ke desanya dekat Ibunya untuk menikmati “masa pensiun” pada umur 29 tahun.

Wajarlah cita-cita ini bagi seorang anggota masyarakat biasa; tetapi seorang imam muda yang idealismenya berhenti di situ saja sungguh memalukan. Maka satu pertanyaan tak dapat kita elakkan: Mengapa Vinsensius menjadi imam? Tak dapat disangkal bahwa Vinsensius, terdorong oleh keluarganya, mau menjadi imam karena pada zaman itu imamat merupakan satu-satunya jalan bagi orang miskin seperti dia untuk meningkatkan status sosial dirinya maupun keluarganya.

Namun Vinsensius tidak berhenti pada taraf itu. Pada tahun 1657 dia berkata kepada para Romo CM: “Kita harus menjadi sepenuhnya milik Tuhan dan sekaligus terarah kepada pelayanan bagi masyarakat. Demi tujuan ini kita harus menyerahkan diri kepada Tuhan, menghabiskan diri, memberikan hidup kita. Biar kita telanjang, bila dapat dikatakan demikian, agar orang lain memperoleh pakaian. Sekurang-kurangnya inilah kesediaan yang perlu kita usahakan apabila kita belum memilikinya: siap sedia untuk pergi ke mana saja dikehendaki Tuhan, entah ke India, entah ke tempat lain; pendek kata kita harus melibatkan diri dengan gembira dalam pelayanan kepada sesama, dalam usaha memperluas kerajaan Kristus dalam jiwa-jiwa. Mengenai saya sendiri, meskipun sudah tua dan lanjut usia, saya juga tidak boleh mengesampingkan kesediaan itu, yaitu kesediaan untuk pergi ke daerah India guna merebut jiwa-jiwa bagi Tuhan, meskipun ada kemungkinan saya akan mati dalam perjalanan”[6].

Ternyata Vinsensius mengalami perubahan menyeluruh. Dulu segalanya dimanfaatkan demi kesejahteraan dirinya dan keluarganya. Imamat juga dipakai untuk itu. Sekarang seluruh pribadinya dan segala yang dimilikinya diserahkan kepada Tuhan dan sesama: “Biar kita telanjang …”. Kapan dan bagaimana perubahan ini terjadi?

II Masa Pertobatan (1609-1620)

Kegagalan-kegagalan beruntun mendorong Vinsensius untuk berpikir: “Apakah ada sesuatu yang tidak beres dalam hidupku?” Dengan didasari keprihatinan ini, imam yang menanjak dewasa itu mencari seorang pembimbing rohani: Romo Pierre de Bérulle, seorang imam terkemuka di Perancis, pelopor pembaharuan Gereja. Melalui Romo de Bérulle, Vinsensius masuk dalam pergaulan dengan seluruh kelompok pembaharu. Berkat bimbingan Romo de Bérulle dan teladan kawan-kawan, Vinsensius pelan-pelan mengerti apa yang tidak beres dalam hidupnya: Sebagai imam tidak cukup mengejar status sosial; seorang imam harus memberikan hidupnya untuk Tuhan dan sesama.

Vinsensius menerima dengan gembira tugas sebagai kapelan mantan Ratu Margareta de Valois, lebih-lebih karena, dalam penentuan tugas, dia diangkat sebagai pembagi derma kepada orang miskin dan kepada orang sakit di Rumah Sakit “La Charité”.

Vinsensius merasa lebih senang lagi saat Romo de Bérulle menawarkan kepadanya satu jabatan baru, sebagai Pastor Paroki di Clichy, desa dekat kota Paris. Sejak bulan Mei 1612 imam kita mulai berkarya di tengah orang-orang sederhana. Di bawah bimbingannya Paroki berkembang dalam segala aspek, terutama dalam bidang katekese dan liturgi. Di Pastoran, Vinsensius mengumpulkan dua belas anak muda yang dibinanya sebagai calon imam.

Tetapi pada akhir tahun 1613 Vinsensius diajak Romo de Bérulle untuk menerima tugas baru lagi: sebagai pengasuh anak-anak keluarga Gondi, salah satu keluarga terkemuka dalam kerajaan Perancis. Dalam istana di tengah kota Paris atau dalam kunjungan ke villa-villa yang mereka miliki di daerah kekuasaan mereka, Vinsensius berusaha hidup seperti dalam biara. Pelan-pelan Bapak Gondi dan Nyonya mulai menghargai imam itu, sampai akhirnya dipilih oleh mereka sebagai Pembimbing Rohani; terutama Nyonya Gondi merasa sangat membutuhkan bimbingannya.

Pada waktu itu atau sebelumnya, Romo kita mengalami dua peristiwa yang dianggap penting dalam pertobatannya. Pernah Vinsensius tinggal di satu kamar kos bersama dengan seorang teman. Suatu hari temannya pergi ke luar untuk urusannya, sedangkan Vinsensius terpaksa tinggal di kamar karena sakit. Ketika pulang, teman Vinsensius itu terkejut karena uangnya yang disimpan dalam almari tidak ada lagi. Siapa lagi yang dapat dianggap pencuri selain Vinsensius? Maka tuduhan itu terang-terangan dilontarkan kepada Vinsensius dan disebarkan di kalangan luas. Imam kita tidak dapat membela diri, maka dia hanya berkata: “Tuhan tahu”. Setelah enam tahun pencurinya ditemukan, yaitu petugas apotik yang pagi itu membawa obat bagi Vinsensius[7].

Peristiwa itu dianggap penting dalam proses pertobatan Vinsensius, karena baru kali ini tokoh kita menerima dirinya sebagai orang miskin yang tak berdaya dan karenanya menyerahkan diri kepada Tuhan: “Tuhn tahu”.

Suatu hari seorang ahli dan dosen teologi membuka hatinya kepada Vinsensius. Dosen itu sudah beberapa tahun menderita karena mengalami kesangsian iman yang gawat. Vinsensius terharu, maka ia berdoa kepada Tuhan agar temannya itu dibebaskan, dan jika perlu biarlah penderitaan itu menimpa dirinya. Betul, dosen itu bebas dari segala kecemasan, tetapi Vinsensius mulai mengalami kesangsian iman yang dahsyat; segala kebenaran iman yang dahulu diimani dengan damai, sekarang seakan-akan sudah kehilangan dasarnya. Vinsensius menderita selama beberapa tahun. Akhirnya dia berjanji akan membaktikan seluruh hidupnya bagi orang miskin bila Tuhan berkenan membebaskannya. Doanya dikabulkan Tuhan[8]

Kesempatan untuk mewujudkan janjinya akan segera tiba. Pada bulan Januari 1617 Vinsensius berada di Folleville bersama seluruh keluarga Gondi. Suatu hari Vinsensius dipanggil ke desa Gannes, karena seorang tokoh umat mendekati ajalnya dan ingin mengaku dosa kepadanya. Romo Vinsensius datang dan petani mengaku dosa-dosa seluruh hidupnya. Deretan dosa yang diungkapkannya cukup panjang, karena sebelumnya tokoh umat itu malu mengaku dosa. Setelah pengakuan dosa selesai, petani itu merasa seperti lepas dari jerat setan dan karena gembiranya dia menceritakan pengalamannya kepada banyak orang, termasuk Nyonya Gondi.

Romo Vinsensius dan Nyonya Gondi berpikir: Kalau tokoh umat yang dianggap saleh ini ternyata di ambang kebinasaan abadi, apalagi orang lain yang kelakuannya jelas-jelas lebih jelek. Apa yang dapat dilakukan? Beberapa hari setelah peristiwa itu, tepatnya pada tanggal 25 Januari 1617, Vinsensius memberi khotbah mengenai pengakuan dosa seluruh hidup di Gereja Folleville. Umat dari desa-desa sekitarnya berbondong-bondong datang untuk mendengarkan khotbah dan mengaku dosa.

Bagi Vinsensius dan Nyonya Gondi pengalaman ini merupakan semacam wahyu. Mereka menyadari bahwa daerah pedesaan terlantar karena kurang mendapat pembinaan. Para imam lebih suka tinggal di kota, sehingga umat daerah pedesaan terlupakan. Maka Vinsensius merasa terpanggil untuk membaktikan seluruh hidupnya demi pembinaan rohani rakyat kecil dari daerah pedesaan. Itulah yang mendorong Vinsensius untuk memulai kegiatan Misi Umat di desa-desa dan untuk mendirikan Kongregasi Misi (CM).

Setelah kembali ke Paris, di tengah-tengah kemewahan istana keluarga Gondi, Vinsensius merasakan konflik batin yang mendalam. Dia semakin sadar bahwa Tuhan memanggilnya untuk membina rakyat kecil. Tetapi ternyata sekarang dia menikmati keadaan yang begitu menyenangkan, di istana orang kaya, sementara rakyat kecil semakin terdesak oleh kebutuhan jasmani maupun rohani. Maka pada masa Prapaskah tahun 1617, Vinsensius meninggalkan istana keluarga Gondi tanpa pamit dan memilih menjadi Pastor Paroki di Châtillon-les-Dombes (Lyon). Di sinilah suatu pengalaman baru lebih meyakinkan Vinsensius akan panggilannya.

Suatu hari Minggu di bulan Agustus, ketika mempersiapkan diri di Sakristi untuk mempersembahkan Misa, Vinsensius diberitahu bahwa di luar desa Châtillon semua anggota satu keluarga sakit parah dan terlantar, karena tidak ada yang merawat mereka. Dalam khotbahnya ia mendorong umatnya untuk memberi perhatian kepada keluarga yang malang itu. Sore harinya, setelah selesai tugas Paroki, Vinsensius bersama beberapa umat mengunjungi keluarga yang menderita itu. Ternyata banyak umat sudah datang dan sudah membawa makanan berlimpah. Vinsensius berfikir: “Keluarga yang malang ini pada hari ini telah menerima bantuan berlimpah. Sebagian dari makanan itu akan menjadi busuk dan keluarga itu akan mulai menderita lagi seperti semula. Cinta kasih seperti ini kurang efektif, karena kurang terencana. Orang-orang miskin sering menderita bukan karena tidak ada yang sanggup menolong, melainkan karena tidak ada koordinasi”[9].

Karena itu Vinsensius membentuk “Persaudaraan Kasih”, kumpulan awam yang menolong orang miskin secara terencana dan terorganisir. Perkumpulan itu kemudian akan menyebar ke seluruh Perancis, bahkan ke seluruh dunia.

Semua peristiwa ini membuka mata Vinsensius. Dia semakin sadar akan panggilannya sebagai imam. Terutama Vinsensius yakin bahwa hanya seorang imam yang suci mampu memenuhi panggilan Tuhan itu.

Inilah pertobatan Vinsensius. Tetapi pertobatan di sini harus diberi arti yang tepat: Vinsensius bukanlah orang jahat yang menjadi suci, melainkan orang biasa yang berhasil mengarahkan seluruh hidupnya kepada Tuhan dan sesama.

Perlu kita tambahkan bahwa pada tahun 1618, pertemuan pribadi dengan seorang santo sejati, yaitu S. Fransiskus dari Sales, sangat menolong Vinsensius untuk tinggal landas menuju kesucian. Allah mempertobatkan Vinsensius lewat pembimbing rohani, lewat orang miskin yang menuntut pelayanan sejati, lewat seorang santo, dan lewat banyak pengalaman lain yang diatur oleh Tuhan agar rencanaNya yang abadi terlaksana.

III Daya cipta yang subur(1620-1634)

Pada tahun 1620 Vinsensius sudah mengerti arah hidupnya dan panggilannya. Kemelaratan jasmani dan rohani rakyat kecil seperti menampar Romo kita dan menggugahnya untuk menanggapi masalah itu dengan tegas. Mulai saat itu karya-karya Vinsensius mengalir lewat dua jalur, yang dalam bahasa Perancis mendapat nama “Mission” dan “Charité”. Yang pertama menjawab pada kemelaratan rohani, melalui katekisasi menyeluruh yang diwujudkan dalam kegiatan Misi Umat. Yang kedua menjawab pada kemelaratan jasmani, melalui karya amal terencana dan terorganisir, yang pada awalnya ditangani oleh kelompok baru yang bernama “Persaudaraan Kasih”.

  1. Dari karya Misi ke Kongregasi Misi

Pada akhir tahun 1617 keluarga Gondi berhasil membujuk Vinsensius untuk kembali ke Paris. Tetapi kali ini Romo kita menentukan syarat-syarat. Dia sanggup kembali menjadi Pembimbing Rohani keluarga Gondi, asal diberi kesempatan untuk menyelenggarakan Misi Umat di desa-desa dalam wilayah kekuasaan Gondi.

Maka selama kurang lebih tujuh tahun Vinsensius mengunjungi sekitar 40 desa untuk melakukan Misi Umat itu. Dengan satu atau dua teman imam, Vinsensius menetap di satu desa selama satu atau satu setengah bulan. Katekismus diajarkannya kepada semua lapisan masyarakat secara sederhana dan praktis. Seluruh umat pelan-pelan dituntun kepada pertobatan, yang diwujudkan dalam pengakuan dosa seluruh hidup dan dalam komuni. Masalah-masalah yang ditemukan dalam Paroki, seperti perselisihan antara keluarga, perkawinan yang tidak beres dan lain-lain, ditangani dengan sabar dan lembut, sampai dapat diselesaikan dengan tuntas.

Sampai tahun 1625 karya ini dipikul oleh Vinsensius secara pribadi, dengan bantuan insidentil beberapa teman imam. Namun Vinsensius dan Nyonya Gondi menyadari bahwa kegiatan ini demikian penting, sehingga membutuhkan penanganan yang profesional dan berkesinambungan dari satu Kongregasi khusus.

Vinsensius tidak bernafsu untuk mendirikan satu Kongregasi baru. Pertama-tama dia menghubungi beberapa Kongregasi yang sudah berkarya di Perancis dan minta agar mereka menerima Misi Umat sebagai karya mereka. Tetapi semua Kongregasi yang dihubungi tidak bersedia. Maka pada tanggal 17 April 1625, Vinsensius bersama Bapak dan Nyonya Gondi menandatangani sebuah kontrak yang menetapkan berdirinya Kongregasi Misi, dengan modal pertama sebesar 45.000 Lire yang disumbangkan oleh keluarga Gondi.

Kongregasi baru diwajibkan memberi Misi hanya di desa-desa saja dan secara gratis. Untuk melaksanakan tugas dengan baik, para anggotanya diwajibkan juga hidup bersama.

Untuk sementara Misi Umat hanya diberikan di daerah kekuasaan keluarga Gondi. Namun dalam waktu beberapa tahun kegiatan ini mulai diminati oleh banyak Keuskupan, sehingga Vinsensius kewalahan menanggapi semua permintaan.

Pada tahun 1626 Kongregasi baru itu mulai menerima anggota-anggotanya. Pada awalnya hanya tiga imam bergabung dengan Vinsensius, termasuk Antoine Portail, yang telah dibina oleh Vinsensius sejak menjadi Pastor Paroki Clichy, bersama dengan beberapa anak lain. Tetapi setiap tahun jumlah mereka pelan-pelan bertambah, sehingga pada tahun 1631 jumlah imam CM mencapai empat belas orang. Mereka tinggal di Kolese “Bons Enfants”, yang selama tahun-tahun pertama menjadi markas besar CM. Tetapi pada awal tahun 1632 markas besar CM pindah ke Saint-Lazare, suatu biara yang luas dan kaya. Karena Misi Umat harus diberikan secara cuma-cuma, maka kekayaan Saint-Lazare dapat dimanfaatkan untuk menghidupi para Romo dan mendukung karya-karya Kongregasi baru itu.

Dari Oktober sampai Juni para Romo CM keliling dari desa ke desa untuk membina rakyat jelata yang terlantar. Tak terhitung jumlah Misi Umat yang diselenggarakan oleh kelompok kecil yang telah dirintis Vinsensius itu. Dari Juni sampai Oktober para petani sibuk dengan pekerjaan pertanian. Maka para Romo tinggal di rumah untuk belajar, untuk melakukan latihan, dan untuk karya-karya lain yang segera mulai menyibukkan Kongregasi Misi.

Dengan menekuni pembinaan rakyat kecil, Vinsensius dan para Romo CM lambat laun menyentuh luka-luka lain yang merongrong Gereja, terutama kemerosotan rohani para imam. Justeru karena itulah rakyat sangat terlantar. Vinsensius tidak bisa tinggal diam di hadapan masalah-masalah yang menyangkut kesejahteraan jasmani dan rohani rakyat kecil. Dia sadar juga bahwa hasil Misi Umat tidak dapat bertahan bila Pastor Paroki tidak melanjutkan pembinaan umat. Karena itu sejak dini pembinaan para imam dan calon-calon imam mulai dipikirkan oleh santo kita. Tetapi,. seperti biasanya, dia menanti tanda dari Penyelenggaraan Ilahi sebelum bertindak. Tanda itu datang melalui permintaan Uskup Beauvais yang mendesak Vinsensius untuk membina calon-calon imam dari Keuskupannya sekitar 20 hari sebelum tahbisan. Vinsensius menerima permintaan itu dan dengan demikian dimulailah karya Retret untuk calon-calon tahbisan yang akan menyibukkan para Romo dan semua rumah CM. Setelah beberapa tahun sangat terasa bahwa pembinaan calon-calon imam hanya menjelang tahbisan itu, tidak cukup. Maka pelan-pelan waktu diperpanjang sampai beberapa tahun dan akhirnya menjadi Seminari, yang merupakan pengembangan karya retret.

Pada pertengahan tahun 1633 di Saint-Lazare dimulai, juga atas usul orang lain, suatu kegiatan yang nanti akan dikenal sebagai “Konferensi Hari Selasa”. Banyak Romo dari kota Paris dan sekitarnya pada hari Selasa berkumpul untuk membahas bersama-sama salah satu tema yang berhubungan dengan kehidupan para imam, yaitu masalah rohani atau pastoral. Banyak calon pejabat Gereja mendapat pembinaan Vinsensius melalui kegiatan ini. Hasilnya sangat memuaskan, sehingga banyak Uskup baru dipilih di antara anggota “Konferensi Hari Selasa”.

  1. Dari karya kasih ke Puteri Kasih.

“Persaudaraan Kasih” yang dirintis di Châtillon-les Dombes merupakan permulaan suatu karya raksasa yang akan mempengaruhi secara mendalam kegiatan Gereja pada abad-abad berikutnya. Langkah pertama itu dapat diumpamakan dengan mata air sebuah sungai raksasa. Permulaannya sangat kecil, tetapi jangkauannya nanti sangat luas. Kunci keberhasilan perkumpulan baru itu mungkin terletak di sini: Pembagian tugas yang efektif di antara anggota, peraturan yang jelas, semangat rohani yang mendasari seluruh kegiatan, perpaduan antara usaha karitatif dan pembinaan iman.

Setelah tahun 1617, Vinsensius mengunjungi banyak desa untuk memberi Misi Umat. Di semua desa itu didirikan Persaudaraan Kasih. Perkumpulan itu berkembang dalam tiga bentuk: Yang pertama hanya terdiri dari ibu-ibu, yang kedua anggotanya hanya bapak-bapak, dan yang ketiga campuran. Harus diakui bahwa bentuk campuran mengecewakan dan pelan-pelan dihapus. Sedangkan perkumpulan yang hanya terdiri dari ibu-ibu mengalami kemajuan paling besar dan akhirnya hanyalah bentuk ini yang bertahan sampai sekarang.

Mulai tahun 1626 para Romo CM juga mengunjungi desa-desa untuk menyelenggarakan Misi Umat. Di mana-mana mereka juga mendirikan Persaudaraan Kasih. Dalam waktu beberapa tahun ratusan perkumpulan tersebar di Perancis, terutama di bagian utara.

Pada tahun 1621. dalam salah satu perjalanannya, Vinsensius mampir di Macon. Ternyata di kota itu terdapat sejumlah besar pengemis dan keadaan mereka sangat menyedihkan. Vinsensius langsung tanggap terhadap keadaan dan permasalahan dan mencari penyelesaian. Didirikannya dua Persaudaraan Kasih, yang satu terdiri dari ibu-ibu dan yang lain dari bapak-bapak. Bersama mereka Vinsensius mencari jalan keluar agar para pengemis dapat hidup dari pekerjaan mereka atau dari derma yang dibagikan oleh perkumpulan. Dua syarat ditentukan bagi para pengemis: Jangan mengemis lagi dan rajin mengikuti kegiatan rohani (Misa, Pelajaran agama dan lain-lain). Kota Macon seluruhnya dilibatkan, para pejabat pemerintah maupun Gereja, pedagang-pedagang serta seluruh umat. Dalam waktu yang singkat kota itu bebas dari pengemis.

Pada tahun 1629 Persaudaraan Kasih masuk juga di ibukota Paris, mulai dengan dua perkumpulan saja. Setelah pengalaman awal yang menggembirakan, pelan-pelam semua Paroki mendirikan Persaudaraan Kasih.

Juga kota Beauvais segera mendapat organisasi itu. Ibu-ibu yang dapat dihimpun sekitar 300 orang, yang terbagi dalam 18 Persaudaraan. Vinsensius rupanya belum dikenal di Buauvais. Seorang pejabat melaporkan kepada pemerintah pusat bahwa “seorang bernama Vinsensius, dengan tidak mengindahkan kekuasaan Raja dan tanpa pemberitahuan apapun kepada pemerintah kota, mengumpulkan sekitar 300 wanita dalam suatu wadah ‘persaudaraan’ yang mereka namakan ‘kasih’. Mereka berkumpul untuk kegiatan mereka dan untuk memberikan pertolongan serta membagikan makanan bagi orang miskin yang sakit dari kota itu. Hal ini tidak dapat ditolerir”[10].

Tetapi Vinsensius sudah dikenal dengan baik oleh pemerintah pusat, sehingga 18 Persaudaraan kota Beauvais tak mengalami hambatan apapun, malah terus berkembang dengan subur.

Dengan cepat Persaudaraan Kasih mengalami kemajuan dalam jumlah maupun dalam kegiatan. Namun apa yang akan terjadi tanpa pembinaan terus menerus? Dari mana-mana laporan mengenai keadaan perkumpulan itu sampai pada Vinsensius. Tidak semua laporan menggembirakan. Di suatu tempat anggota perkumpulan tidak mau mengunjungi orang sakit, di tempat lain keuangan tidak beres; bendahara satu perkumpulan terlalu kikir, anggota-anggota perkumpulan lain tidak dapat bekerja sama … Tanpa pembinaan, organisasi itu akan roboh di bawah masalah-masalah yang bertumpuk-tumpuk.

Untuk menjamin pembinaan itu, Vinsensius dan Romo-Romo merasa perlu sering mengunjungi Persaudaraan-Persaudaraan yang tersebar di daerah yang luas. Kunjungan-kunjungan ini sering bergema dalam korespondensi S. Vinsensius. Pada akhir tahun 1654 (umurnya sudah 73 tahun) dia menulis: “Nanti sore saya bermaksud mengunjungi ibu-ibu cinta kasih dari Paroki kecil Saint-Marceau. Di sana perkumpulan yang baik ini menghadapi bahaya kehancuran, bila tidak mendapat sedikit dukungan”[11].

Surat di atas ini ditulis Vinsensius kepada Luisa de Marillac. Wanita yang luar biasa ini sudah dikenalnya sejak tahun 1624. Pada waktu itu wanita muda yang baru ditinggal mati suaminya, membutuhkan bimbingan yang lembut dan tegas. Rupanya Vinsensiuslah orang yang tepat. Sejak tahun 1629, Luisa dilibatkan dalam pembinaan Persaudaraan Kasih di kota dan desa yang cukup jauh. Inilah salah satu langkah Vinsensius yang paling berani dan paling subur.

Luisa mengunjungi banyak Persaudaraan. Di mana-mana Luisa mempelajari situasi, memberi semangat, membantu menyelesaikan masalah, dan selalu rajin melaporkan segalanya kepada Vinsensius. Sebagian dari korespondensi antara dua tokoh ini masih dapat kita baca, dan itu sangat membantu kita untuk mengenal mereka.

Setelah Persaudaraan Kasih masuk kota, banyak Nyonya dari keluarga bangsawan atau dari keluarga terkemuka menjadi anggotanya. Tetapi lama-kelamaan mereka malu mengunjungi orang miskin dan sakit di lorong kota yang kecil dan di gubuk yang kumuh. Karena itu, pembantu rumah tanggalah yang disuruh mengunjungi orang miskin yang sakit dan membawa makanan kepada mereka. Dapat kita bayangkan bagaimana pelayanan kasih ini menjadi suatu kegiatan tanpa jiwa di tangan pembantu rumah tangga.

Vinsensius dan Luisa tak dapat menerima cara kerja ini, karena pelayanan seperti itu lebih menyakitkan daripada menghibur. Dua tokoh kita sadar, bahwa orang miskin lebih membutuhkan perhatian dan kelembutan daripada makanan. Untunglah beberapa gadis desa yang baik datang kepada Vinsensius dan Luisa dan menawarkan diri untuk berkarya demi orang miskin. Gadis-gadis ini diserahkan kepada Luisa untuk dibina dalam kasih kepada Tuhan dan sesama. Mereka membantu di Paroki-Paroki kota Paris dalam kunjungan kepada orang miskin yang sakit. Kegiatan ini mereka lakukan atas nama Persaudaraan Kasih. Gadis pertama yang datang kepada Vinsensius untuk melayani orang miskin bernama Margareta Naseau. Semangat pengabdiannya menjadi teladan bagi gadis-gadis yang lain. Setelah beberapa tahun dia meninggal, karena berani menolong orang sakit pes, sampai ketualaran penyakit itu.

Tanggal 29 November 1633 merupakan suatu hari yang bersejarah. Pada hari itu sejumlah gadis dipilih dan dihimpun di rumah Luisa de Marillac. Dengan langkah itu dibentuklah suatu komunitas baru dalam Gereja, dengan nama Serikat Puteri Kasih. Bukanlah suatu ordo yang terkurung dalam biara sesuai kebiasaan pada waktu itu, melainkan suatu kelompok kerasulan. Mereka memang hidup bersama dan harus memiliki semangat seperti biarawati-biarawati lain; tetapi anggota Serikat Puteri Kasih harus terbuka dan terarah kepada pelayanan orang miskin, di mana saja orang miskin membutuhkan pertolongan. Pada tanggal 31 Juli 1634 jumlah mereka hanya dua belas orang.

Dalam tahun 1634 pula, di kota Paris ibu-ibu yang membantu Vinsensius dalam karya amal sejak tahun 1625, dihimpun dalam suatu Persaudaraan Kasih yang mengambil nama dari Rumah Sakit Paris, “Hôtel Dieu”. Kelompok inilah yang akan menjadi pendukung utama Vinsensius dalam karya-karya besar yang akan ditanganinya. Nyonya-Nyonya terkemuka dari Paris berlomba untuk menjadi anggota Persaudaraan Kasih Hôtel Dieu.

Dengan demikian Vinsensius sudah berhasil membentuk satu barisan sukarelawan-sukarelawati yang sanggup menghadapi tantangan dan tuntutan jaman. Para Romo CM bersama dengan imam-imam yang tergabung dalam Konferensi Hari Selasa berkarya terutama di jalur pertama yang bersumber dari pengalaman Folleville (‘Mission’). Para Suster Puteri Kasih beserta Persaudaraan Kasih dan khususnya kelompok Hôtel Dieu , berkarya di jalur kedua yang bersumber dari pengalaman Châtillon-les-Dombes (‘Charité’).

IV Masa Panen (1634-1653)

Abad XVII di Perancis dikenal sebagai ‘le grand siècle’ (abad yang agung), karena pada abad itu Perancis mengalami masa yang cemerlang dalam bidang politik dan militer, maupun dalam sastra, seni serta filsafat. Pada masa itu Perancis berhasil menggeser Spanyol sebagai negara adikuasa dalam percaturan politik Eropa. Tetapi tak pernah rakyat Perancis menderita seperti pada abad ini, sehingga abad yang demikian diagung-agungkan itu dapat disebut juga ‘abad orang miskin’. Penyakit pes, bencana alam yang menghancurkan penghasilan para petani, struktur masyarakat yang sangat menekan orang kecil, dan terutama perang yang berkepanjangan merupakan sumber derita yang tak terkatakan.

Pada abad orang miskin Allah membangkitkan pula ‘Bapak orang miskin’, yaitu Vinsensius de Paul. Orang-orang miskin yang penuh luka dan derita dipandang Vinsensius sebagai “majikan”, karena dalam diri mereka, seirama dengan samangat Injil, dia melihat Kristus sendiri; bagi dia melayani orang miskin sama dengan melayani Kristus. Oleh karena itu karya dipandang sebagai lanjutan dari doa dan cinta kepada Tuhan berpadu dengan cinta kepada orang kecil.

Seluruh keluarga besar yang telah dihimpun Vinsensius siap untuk melayani orang kecil dan meringankan penderitan mereka.

1.Cinta kasih melawan kekejaman perang

Balatentara cinta kasih yang dihimpun Vinsensius mendapat ujian pertama di Lorraine, salah satu propinsi Perancis di daerah perbatasan bagian timur laut. Sepanjang sejarah propinsi tersebut menjadi rebutan antara Perancis dan tetangganya Jerman. Pada jaman Vinsensius, Lorraine mengalami penderitaan yang dahsyat.

Sekitar tahun 1630, selama beberapa musim para petani hampir tidak dapat memetik hasil apa-apa karena pelbagai sebab. Panen jelek membawa paceklik dan kelaparan. Tak ketinggalan penyakit pes mengamuk sampai tahun 1637. Musibah yang paling dahsyat ialah perang. Dari tahun 1635 sampai dengan tahun 1643 balatentara dari bermacam-macam negara dan golongan menjelajahi daerah yang malang itu. Dimana-mana para serdadu merampas apa saja yang dapat dimanfaatkan, terutama bahan makanan. Mereka membakar, membunuh, memperkosa, menghancurkan tanpa belaskasihan. Penderitaan para penduduk dapat kita bayangkan.

Di propinsi Lorraine terdapat satu komunitas CM, tepatnya di Toul. Melalui para Romo Vinsensius mengenal situasi gawat yang diderita oleh seluruh masyarakat Lorraine. Seperti biasa Vinsensius tidak bisa diam di hadapan penderitaan manusia.

Pertama-tama dia dan komunitasnya berdoa dan melakukan matiraga, untuk memohon belaskasihan Tuhan bagi orang miskin yang menderita di daerah itu.

Di samping itu Vinsensius mencoba pula memperbaiki situasi pada akarnya. Pada suatu hari dia memberanikan diri menghadap Perdana Menteri Perancis, Kardinal Richelieu, dan memohon kepadanya: “Monsinyur, usahakanlah kedamaian bagi rakyat”. Kardinal yang berkuasa itu menjawab: “Sayalah yang paling mencintai kedamaian. Tetapi damai itu tidak hanya tergantung pada saya”.

Akhirnya Vinsensius terjun untuk meringankan penderitaan korban-korban perang. Dua belas Romo CM diutus ke Propinsi itu. Ibu-Ibu dari Persaudaraan Kasih digerakkan untuk mengumpulkan sebanyak mungkin dana. Dengan dana yang disalurkan secara rutin melalui Romo-Romo CM yang sudah berkarya di daerah itu, berpuluh-puluh ribu jiwa diselamatkan dari kehancuran total.

Menurut laporan jaman itu, dari tahun 1639 sampai tahun 1649 telah dikumpulkan dan disalurkan bantuan sebanyak dua juta lire. Kalau kita membandingkan jumlah ini dengan data-data lain yang kita miliki (misalnya gaji seorang Pastor Paroki selama satu tahun mencapai tiga ratus lire), maka dapat disimpulkan bahwa dua juta lire sama dengan 55 miliar Rupiah masa kini.

Dalam karya raksasa ini, Vinsensius sibuk menjadi koordinator, para ibu dari Persaudaraan Kasih bergerak untuk mengumpulkan dana dan para Romo siap untuk menyalurkannya kepada orang miskin. Seorang Bruder CM, bernama Mateus Regnard, menjadi penghubung antara Paris dan Propinsi Lorraine. Seluruh dana yang dihimpun di Paris dapat disalurkan ke semua pos pertolongan di Lorraine berkat kecerdikan Bruder Regnard. Dia sudah dikenal oleh preman-preman zaman itu dan diincar oleh mereka; tetapi dengan kelihaiannya dia dapat selalu lolos dari perangkap mereka. Dalam kurung waktu sepuluh tahun dia melakukan perjalanan itu 54 kali. Setiap kali membawa 20 sampai 50 ribu lire.

Sebelum Lorraine pulih kembali dari kehancuran, musibah yang sama dialami oleh beberapa daerah lain, yaitu Picardie, Champagne dan Île de France. Kekejaman perang terulang kembali di suatu wilayah yang lebih luas. Sekali lagi rakyat terbawa ke ambang kehancuran. Dan sekali lagi seluruh “Keluarga Vinsensius” bergerak secara lebih efisien dan lebih efektif untuk menyembuhkan luka-luka masyarakat. Dari tahun 1650 sampai tahun 1654 para Romo dan Bruder CM dalam jumlah yang cukup besar (pernah sampai 18 orang) bersama dengan banyak Puteri Kasih pergi ke daerah-daerah yang menderita untuk menolong orang miskin dan orang sakit. Para ibu dari Persaudaraan Kasih sibuk untuk mengumpulkan dana di Paris. Bruder Parre mengantarkan dana itu dan membagikannya sesuai kebutuhan. Vinsensius dari Saint-Lazare memimpin ‘armada’ cintakasih ini. Di Ibukota Paris sendiri beberapa puluh ribu pengungsi mendapat pertolongan jasmani maupun rohani.

Menurut laporan Vinsensius, sekitar 370.000 lire telah dikirim dan dibagikan kepada orang miskin. Jumlah sebesar itu telah dimanfaatkan untuk memberi makan kepada orang sakit yang lapar, untuk menghimpun dan menjamin sekitar 800 anak yatim piatu, untuk mencukupi kebutuhan banyak Pastor Paroki yang miskin dan untuk keperluan lain. Dalam laporan itu belum diperhitungkan pakaian, selimut, peralatan Misa dan kebutuhan lain yang telah dikirim ke sana dalam jumlah yang sangat besar.

Dalam salah satu suratnya tertanggal 21 Juni 1652 Vinsensius menyampaikan ‘berita-berita kecil’[12] tentang apa yang dikerjakan di Paris untuk menampung dan menolong para pengungsi.

“Inilah karya-karya yang paling menonjol:

1. Setiap hari sekitar 15.000 orang miskin, baik para miskin yang tersembunyi karena malu maupun para pengungsi, menerima makanan yang sudah dimasak.

2. Sekitar 800 gadis yang telah mengungsi kemari, telah dikumpulkan di beberapa rumah khusus. Di situ mereka mendapat keperluan sehari-hari serta pembinaan. Romo sendiri dapat membayangkan nasib mereka andaikata dibiarkan mengembara di kota. Seratus di antara mereka kita tanggung di salah satu rumah di daerah Saint-Denis.

3. Tak ketinggalan para Suster yang telah dipaksa meninggalkan biara mereka oleh gerombolan tentara dan lari ke kota Paris. Di antara mereka ada yang berkeliaran di jalan, ada yang ditampung di tempat yang patut dicurigai, ada juga yang kembali kepada keluarganya. Pokoknya mereka semua terseret ke dalam bahaya dan kekacauan. Ada banyak usaha untuk melepaskan mereka dari keadaan yang membahayakan. Untuk itu telah diprakarsai satu usaha yang nampaknya berkenan kepada Tuhan. Mereka semua telah dikumpulkan bersama-sama dalam satu biara, di bawah bimbingan Suster-Suster Santa Maria.

Akhirnya semua Pastor Paroki, Pastor Pembantu dan Pastor-Pastor lain yang telah lari ke dalam kota Paris dari Paroki-Paroki mereka di pedesaan, telah dikumpulkan di rumah kita. Setiap hari ada pendatang baru. Mereka menerima makanan dan penginapan serta dibina dalam pengetahuan dan praktek yang perlu bagi hidup mereka.

Demikianlah Tuhan memperkenankan kami ambil bagian pada karya-karya suci yang sedang diusahakan di Paris. Para Suster Puteri Kasih lebih terlibat daripada kami, khususnya dalam pelayanan jasmani bagi orang miskin. Mereka mempersiapkan dan membagikan makanan di tempat Ibu Le Gras untuk 1.300 orang miskin yang malu dan bagi 800 pengungsi di daerah Saint-Denis. Malah dalam Paroki Santo Paulus, empat atau lima Suster Puteri Kasih memberikan makanan kepada 5.000 orang miskin, di samping tugas mereka yang rutin, yaitu merawat 60 atau 80 puluh orang sakit. Di tempat lain para Suster menangani karya-karya yang sama”[13].

S. Vinsensius tidak hanya pandai membagikan dana yang dikumpulkan dan disumbangkan oleh orang lain. Setiap kali kebutuhan mendesak, dia tidak segan-segan mengambil uang dari kas rumah Saint-Lazare. Karena itu sering kali kas rumah itu kosong. Namun Vinsensius percaya akan Penyelenggaraan Ilahi.

Pengorbanan yang lebih besar dituntut dari mereka yang langsung berkarya di daerah-daerah yang menderita. Banyak di antara mereka jatuh sakit dan terpaksa meninggalkan medan dalam waktu singkat. Beberapa Romo dan seorang Suster meninggal di tempat kerja. Namun Vinsensius tak pernah mengalami kesulitan untuk mencari Romo atau Suster yang rela mengganti para martir cinta kasih itu.

  1. Menolong orang yang paling terlantar

Kemelaratan merupakan tanah yang subur untuk tumbuhnya segala macam dosa. Tidak mengherankan bila pada ‘abad orang miskin’ itu kita jumpai banyak masalah sosial yang bersumber dari kejahatan.

Salah satu masalah yang muncul ialah anak terbuang. Setiap tahun di kota Paris ratusan anak dibuang oleh ibu yang tidak bertanggung jawab, karena ibu itu terlalu miskin dan tidak mampu menghidupi anaknya, atau karena ibu itu masih gadis dan tidak berani menghadapi ‘penghakiman’ masyarakat tanpa seorang suami yang jelas. Biasanya anak dibuang di muka pintu salah satu gedung Gereja. Mungkin karena wanita yang gagal sebagai ibu itu masih ingat bahwa Gereja juga adalah Ibu. Vinsensius sendiri berkata bahwa setiap tahun anak yang dibuang berjumlah sekitar 365, rata-rata setiap hari satu.

Sesungguhnya di Paris sudah tersedia penampungan resmi bagi anak-anak itu. Namanya ‘la couche’(dalam bahasa Perancis berarti ‘tempat untuk berbaring bagi anak-anak’). Vinsensius mengetahui keadaan asrama itu. Ibu-ibu yang tak berperikemanusiaan memperlakukan anak-anak sebagai barang yang mengganggu, sehingga mereka tidak segan menjual anak-anak kepada para pengemis. Kaki dan tangannya nanti akan dipatahkan, dan dengan anak yang sudah cacat itu di pangkuannya, para pengemis dapat menggugah belaskasihan masyarakat sehingga memperoleh banyak derma.

Setelah melihat orang miskin yang menderita, Vinsensius tak pernah mencari alasan untuk mengelak dari tanggung jawabnya. Dia sadar pula bahwa anak-anak itu oleh masyarakat dianggap makhluk terkutuk karena ‘anak haram’. Dia tidak mundur. Dengan caranya sendiri dia sanggup mendobrak mentalitas masyarakat. Untuk karya ini pun dia melibatkan semua organisasi besar yang dipimpinnya: Ibu-Ibu dari Persaudaraan Kasih untuk mencari dana, para Suster Puteri Kasih yang akan langsung menanganinya, dan para Romo CM sebagai koordinator.

Pada tahun 1637, setelah mengunjungi ‘la Couche’, Ibu-Ibu dari Persudaraan Hôtel Dieu mengambil keputusan untuk mencoba menampung dua belas anak yang terbuang. Jumlah anak yang diasuh pelan-pelan bertambah. Akhirnya pada tanggal 17 Januari 1640, atas desakan Vinsensius, para Ibu menyediakan diri untuk menampung semua anak terbuang. Proyek besar ini dimulai pada tanggal 30 Maret 1640 dan dipikul bersama oleh putera-puteri Vinsesius untuk seterusnya, di tengah-tengah kesulitan yang dapat kita bayangkan: Kesulitan tempat untuk menampung semua anak, mencari ibu yang mau menyusui bayi, mengarahkan anak-anak yang sudah menjadi remaja kepada suatu pekerjaan yang memungkinkan mereka mandiri, dan terutama kesulitan ekonomi.

Semua kesulitan ini sering kali mematahkan semangat kelompok-kelompok yang terlibat. Vinsensius selalu siap untuk melindungi anak-anak dan memberi semangat kepada putera-puterinya.

Kepada anggota CM dia menjelaskan: “Penyelamat kita berkata kepada murid-muridNya: ‘Biarkanlah anak-anak datang kepadaKu’. Apakah kita berani menolak atau meninggalkan anak-anak yang datang kepada kita? Itu berarti menolak Kristus sendiri”[14].

Kepada Ibu-Ibu dari Persaudaraan Kasih ia berkata: “Sampai sekarang kalian menjadi ibu bagi anaka-ank ini. Sekarang kalian menjadi hakim bagi mereka. Kehidupan atau kematian anak-anak ini ada di tangan kalian. Bila kalian terus memberi perhatian kepada mereka, anak-anak akan hidup. Bila mereka kalian tinggalkan, anak-anak akan mati. Putuskanlah sendiri”[15].

Kepada para Suster Puteri Kasih ia berkata: “Dalam karya ini kalian menyerupai Bunda Maria, karena sekaligus menjadi perawan dan ibu”[16].

Beberapa keterangan dapat memberikan gambaran yang nyata: Dari tahun 1638 sampai tahun 1643 ditampung 1200 anak; pada tahun 1644 (hanya satu tahun!) biaya untuk karya itu mencapai 44.000 lire; pada tahun 1656 biaya hanya 17.221; pada tahun 1657 jumlah anak yang diasuh 395.

Luisa de Marillac paling disibukkan oleh karya ini, karena dia bersama Suster-Susternya langsung menanganinya. Kalau usaha ini bertahan terus Luisalah yang paling berjasa.

Masalah sosial lain yang sudah lama menarik perhatian Vinsensius dan putera-puterinya ialah pendayung-pendayung galea (galea adalah kapal perang). Di Perancis dan negara-negara lain para narapidana dimanfaatkan sebagai pendayung galea. Keadaan mereka sangat tidak manusiawi. Vinsensius memberi komentar ini: “Saya melihat sendiri bahwa mereka diperlakukan seperti binatang”[17].

Pada tanggal 8 Februari 1619, atas prakarsa Bapak Gondi, Jenderal Armada Perang Perancis, Vinsensius diangkat sebagai Kapelan Armada Perang. Sejak permulaan Vinsensius mengusahakan perbaikan-perbaikan dalam makanan dan pengobatan bagi para pendayung. Pembinaan rohani juga diperhatikannya, khususnya lewat Misi Umat. Bila sementara tidak dimanfaatkan di kapal, para pendayung tinggal di penjara khusus. Beberapa kali Vinsensius mengusahakan tempat yang lebih pantas sebagai kediaman bagi mereka. Malah pada tahun 1645 di Marseille dapat dibangun sebuah rumah sakit. Saat narapidana yang sakit dipindahkan dari galea ke rumah sakit, rasanya seperti meninggalkan neraka untuk masuk surga.

Di Marseille, kota pelabuhan terbesar di Perancis, Vinsensius menempatkan beberapa Romo CM dengan tugas utama pemeliharaan rohani dan jasmani para pendayung galea. Para Romo menjadi penghubung antara narapidana dengan dunia luar, yaitu dengan orang tua, saudara-saudara, isteri, anak, pacar, dan tentu dengan para penderma.

Tinggal di tengah-tengah narapidana merupakan pekerjaan yang sulit dan berbahaya. Namun Vinsensius dan Luisa tidak segan-segan melibatkan Puteri Kasih dalam karya ini juga. Rencana ini dapat diwujudkan tahun 1640. Para Suster Puteri Kasih ditugaskan untuk pemeliharaan para pendayung galea dalam sebuah penjara di Paris.

Semua ini dapat dilaksanakan berkat dukungan finansial dari Nyonya d’Aiguillon, keponakan Kardinal Richelieu, dan ibu-ibu lain.

Kemiskinan muncul dengn seribu wajah, dan Vinsensius selalu di barisan terdepan untuk menolong. Kelompok lain yang mengalami kasih Vinsensius ialah para budak yang diperjual-belikan di Afrika Utara, setelah ditangkap oleh bajak laut di perairan Laut Tengah. Beberapa puluh ribu (mungkin 50.000) orang Kristen Eropa menderita di Afrika Utara sebagai budak. Beberapa anggota CM ditugaskan di Tunis dan di Aljazair untuk membina mereka, dan juga untuk membebaskan mereka bila dapat diusahakan uang tebusan. Bahkan Vinsensius menerima tugas sebagai konsul di Tunis dan di Aljazair bagi beberapa Romo atau Bruder, supaya dengan jabatan ini para budak dapat dilayani dengan lebih baik. Nyonya d’Aiguillon juga dalam karya ini menjadi pendukung utama Vinsensius. Sedangkan para Romo yang berkarya di Marseille menjadi penghubung antara Perancis dan Afrika Utara. Menurut Abelly, pengarang riwayat Vinsensius yang pertama, santo kita berhasil menebus 1.200 budak dengan biaya 1.200.000 lire.

Catatan singkat ini tak dapat mengungkapkan secara lengkap perjuangan dan pengorbanan Vinsensius, para ibu, dan terutama para Misionaris CM yang ditugaskan di Afrika Utara. Beberapa di antara mereka dipenjarakan dan disiksa. Seorang imam dan seorang Bruder dibunuh sebagai martir oleh penguasa Afrika Utara; juga seorang pemuda Maroko yang bertobat menjadi Kristen dibunuh secara kejam.

  1. Misi Universal

Semua karya Vinsensius dijiwai oleh cinta kepada Tuhan dan kepada Gereja. Bukanlah cinta kepada Gereja Perancis atau Gereja Eropa, melainkan cinta kepada Gereja Katolik yang tersebar di seluruh dunia. Cinta Vinsensius pun menjadi universal seperti Gereja. Oleh karena itu sejak dini Vinsensius berusaha melampaui batas Perancis dan memperluas pelayanannya ke daerah-daerah lain.

Pada tahun 1639 Romo Lebreton diutus ke Roma, bukan hanya untuk menangani kepentinga CM di pusat Gereja, tetapi juga untuk mengabdi kepentingan Gereja di tengah-tengah kaum miskin (narapidana, orang-orang terlantar, masyarakat pedesaan). Pada tahun 1645 sebuah rumah CM dibuka di Genova (Italia) dan para putera Vinsensius mendarat di Tunis, seperti telah kita singgung di atas. Dua tahun kemudian para misionaris CM mulai berkarya di Irlandia dan di sini Romo Taddeus Lee, putra Irlandia, menjadi martir CM pertama (tahun 1652) Satu tahun sebelumnya, yaitu 1651, Skotlandia dan Polandia juga dapat mengalami kasih Vinsensius lewat putera-puteranya. Akhirnya pada tahun 1654 karya CM mulai berkembang di Torino (Italia) dan di Aljazair.

Di mana-mana para putera Vinsensius menangani karya yang sama seperti sang pendiri di Perancis: Misi Umat, terutama di daerah pedesaan, yang sampai saat itu agak terlupakan oleh petugas Gereja; pembinaan imam dan calon imam; pertolongan bagi orang-orang yang terlantar. Melalui kegiatan ini putera-putera Vinsensius mendekatkan Gereja pada umat sederhana dan membawa pembaharuan semangat kristiani di semua lapisan masyarakat.

Di luar Perancis pun para Romo CM berada di garis terdepan bila situasi membahayakan. Misalnya di Polandia yang digoncangkan oleh perang antara Polandia sendiri dengan Swedia, di Genova yang dilanda pes, di tengah-tengah umat katolik Skotlandia dan Irlandia yang dikejar dan dibunuh oleh tentara pemerintah London. Banyak Romo CM menjadi martir cintakasih. Di Genova, misalnya, tujuh imam dan seorang Bruder meninggal karena merawat orang sakit pes.

Usaha Vinsensius di luar Perancis yang paling berani ialah misi ke Madagaskar. Vinsensius menerima pekerjaan itu atas desakan Nuntius (utusan Paus) yang berkedudukan di Paris. Sebetulnya sudah lama Vinsensius mencari kesempatan untuk mengirim misionaris-misionaris CM ke daerah misi. Dia menulis: “Saya mengakui bahwa, dengan kasih dan semangat besar, menurut perasaanku, saya menginginkan perluasan Gereja di daerah-daerah yang penghuni-penghuninya masih kafir”[18].

Kepada Romo Nacquart, misionaris pertama yang diutusnya ke Madagaskar, Vinsensius menulis: “Serikat kita telah memandang Romo sebagai korban yang paling pantas untuk dipersembahkan kepada Sang Pencipta yang Mahakuasa”[19]. Sejarah misi CM di Madagaskar selama Vinsensius masih hidup itu membuktikan bahwa memang karya itu merupakan suatu ‘korban’besar.

Dari tahun 1648 sampai tahun 1660 Vinsensius mempersiapkan enam kelompok misionaris CM untuk diutus ke pulau Afrika Timur itu. Tiga kelompok pertama sampai di pulau itu, sedangkan tiga kelompok terakhir tak pernah menyentuh Madagaskar karena keganasan Lautan Atlantik. Selama 12 tahun Vinsensius berusaha menegakkan Kerajaan Allah di pulau Madagaskar. Selama waktu yang cukup singkat itu tujuh anggota CM meninggal setelah mencapai tujuan. Seorang meninggal dalam perjalanan dan 13 yang lain berangkat tetapi tak pernah sampai pada tujuan.

Hanya dua Romo dapat merintis pembangunan Gereja di pulau itu, yaitu Romo Nacquart yang bertahan sekitar satu setengah tahun dan Romo Bourdaise yang lebih beruntung karena dapat berkarya hampir tiga tahun, sampai dipatahkan oleh disentri yang gawat.

Satu demi satu semua tenaga yang telah diutus ke Madagaskar menjadi korban keganasan iklim atau korban semangat kerja yang tak dapat mereka kendalikan. Siapa yang tak patah di bawah pukulan dan kegagalan yang begitu dahsyat? Namun Vinsensius tetap teguh.

Kepada komunitas CM dia berkata: “Mungkin darah dan daging cenderung meninggalkan Madagaskar, tetapi saya yakin bahwa roh mempunyai niat yang berbeda … Saya yakin bahwa dalam serikat kita tak seorang pun akan mundur kalau diminta mengambil tempat mereka yang telah gugur”[20]. Keyakinan Vinsensius itu sesuai dengan kenyataan. Beliau tak pernah mengalami kesulitan pada saat mencari Romo atau Bruder untuk diutus ke Madagaskar.

  1. Dalam kancah politik

Vinsensius sangat dekat dengan rakyat kecil, tetapi sekaligus dekat pula dengan orang besar, karena Vinsensius ingin menjadi jembatan antara masyarakat yang kaya dan masyarakat yang miskin. Empat orang yang mengendalikan Pemerintah Perancis mengajak Vinsensius untuk bekerja sama: Kardinal Richelieu, Kardinal Mazzarino, Raja Louis XIII dan Ratu Anna dari Austria Khususnya pada masa Ratu Anna memegang pucuk Kerajaan dengan Kardinal Mazzarino sebagai Perdana Menteri, Vinsensius mendapat kedudukan yang cukup tinggi dalam ‘kabinet’ Perancis. Sebagai Bapak Pengakuan Ratu, santo kita menjadi anggota ‘Dewan Hati Nurani’. Dewan ini bertugas memberikan saran kepada Ratu dalam segala urusan kenegaraan yang menyangkut hati nuraninya.

Vinsensius berperan penting, terutama dalam pengangkatan Uskup-Uskup. Dia yakin bahwa pembaharuan Gereja Perancis, sesuai dengan harapan Konsili Trente, banyak tergantung pada Uskup-Uskup. Vinsensius mencoba memperjuangkan imam-imam yang pantas untuk kedudukan itu. Karenanya Vinsensius harus banyak berkorban, sebab perjuangannya itu tidak seiring dengan pandangan Kardinal Mazzarino, yang lebih cenderung menganggap pengangkatan Uskup sebagai suatu permainan politik. Vinsensius mendapat kesulitan juga dari banyak keluarga terkemuka, yang hanya ingin memperjuangkan kehormatan keluarga tanpa mempedulikan kepentingan Gereja.

Vinsensius menjadi anggota Dewan Hati Nurani dari tahun 1643 sampai tahun 1652, Pada masa itu Perancis diguncangkan oleh perang saudara yang diberi nama perang ‘Fronde’ (1648-1649, 1651-1653). Di tengah-tengah pertentngan antara golongan yang bertikai, Vinsensius menjadi tokoh penengah, karena dia dekat dengan Ratu dan Perdana Menteri, dan dekat pula dengan rakyat, parlemen dan keluarga-keluarga bangsawan. Dua kali Vinsensius melakukan tindakan yang bersejarah, pada bulan Januari 1649 dan pada bulan September 1652. Dia mengusulkan kepada Kardinal Mazzarino agar mengundurkan diri sebagai Perdana Menteri, karena dialah yang dipandang oleh rakyat sebagai biang keladi perang itu. Pertama kali langkah Vinsensius gagal; tetapi pada tahun 1652 berhasil dan menyelamatkan Perancis dari pertumpahan darah yang tak berguna.

V Senja yang cerah (1653-1660)

Pada tahun-tahun terakhir hidupnya Vinsensius dipandang oleh seluruh masyarakat Perancis dan pejabat-pejabat Gereja sebagai tokoh yang penuh wibawa karena karya, kesucian dan kebijaksanaannya. Dari pusat CM di Paris Vinsensius masih mengikuti perkembangan semua karyanya dan masih bertindak sebagai ‘jenderal’, terutama lewat surat-suratnya. Santo kita tidak dapat terjun langsung di lapangan seperti dulu, karena kesehatannya mulai terganggu. Namun pikirannya masih jernih, kemauannya masih keras dan kesuciannya makin kentara.

Selama periode ini dia dapat lebih memusatkan perhatian pada pembinaan CM dan Puteri Kasih. Peraturan CM disetujui oleh Uskup Paris, atas nama Paus, pada tahun 1653. Dua tahun kemudian Paus sendiri menyetujui kaul sebagai unsur hakiki CM. Tahun 1658 peraturan CM, yang sudah direvisi dan disetujui kembali oleh Uskup, dicetak dan dibagikan kepada semua anggota. Puteri Kasih juga mendapat persetujuan sebagai Serikat oleh Uskup Paris.

Vinsensius masih memberi perhatian kepada Misi Umat, sebagai karya utama CM. Malah pada tahun 1653 dia ikut ambil bagian dalam salah satu Misi di Sevran. Nyonya d’Aiguillon menulis kepada Romo Portail, wakil Pimpinan CM, dan menegurnya karena Romo Vinsensius yang sudah lanjut usia dibiarkan membuang tenaganya: “Saya merasa bahwa hidupnya sangat berharga dan berguna bagi Gereja dan Serikatnya. Tidak masuk akal kalau tenaganya dibuang begitu saja”[21]. Vinsensius, sebelum berangkat, sudah memberi penjelasan kepada ibu yang baik itu: “Saya merasa berdosa di hadapan Tuhan apabila saya tidak melakukan apa saja yang dapat saya kerjakan bagi rakyat miskin dari daerah pedesaan”[22].

Pada senja hidupnya Vinsensius disibukkan secara khusus oleh dua usaha: Pembebasan para budak kristen di Afrika Utara dan rencana pemerintah Perancis untuk mengumpulkan semua pengemis di satu tempat yang diberi nama “l’Hôpital Général” (rumah sakit umum). Usaha yang kedua ini sebetulnya dirintis oleh ibu-ibu dari Persaudaraan Kasih, yang ingin melaksanakan untuk lingkup yang lebih luas dan umum apa yang sudah dikerjakan oleh Vinsensius dengan asrama “Nama Kudus Yesus” bagi orang-orang jompo. Selanjutnya pemerintah mengambil alih gagasan itu. Vinsensius diberitahu mengenai rencana itu, didesak untuk memberi dukungan dan diminta melibatkan diri dan semua organisasinya dalam usaha itu. Malah para Romo CM secara resmi diangkat menjadi Kapelan, tanpa sebelumnya minta persetujuan kepadanya. Ternyata Vinsensius menolak melibatkan dirinya dan CM dalam karya itu. Sikap Vinsensius nampaknya aneh, sebab dia berpedoman: ’orang-orang miskin adalah warisan kita’ dan karenanya dia tak pernah mengundurkan diri di hadapan kebutuhan mereka. Namun “l’Hôptal Général” mendapat penilaian cukup negatif dari santo kita. Dasar usaha itu bukanlah cinta kepada orang miskin dan keinginan untuk memenuhi kebutuhan mereka, melainkan pandangan bahwa orang miskin merupakan ancaman bagi masyarakat, karena itu harus disingkirkan dan dimasukkan dalam semacam “penjara” yang hanya namanya lebih manis.

Usaha kedua yang menyibukkan Vinsensius ialah karya untuk membebaskan para budak di Afrika Utara. Para anggota CM yang berkarya di sana sangat menderita, terutama Bruder Barreau, Konsul di Aljazair, yang dipenjarakan oleh penguasa setempat. Di seluruh Perancis diadakan propaganda besar-besaran guna mengumpulkan dana untuk membebaskan umat Kristen yang dijadikan budak. Namun hasilnya, betapapun menyenangkan, tak seimbang dengan kebutuhan. Karena itu Vinsensius mengambil keputusan untuk mendukung prakarsa seorang bernama Paul, yang merencanakan suatu serangan terhadap Afrika Utara untuk membebaskan para budak. Serangan memang dilakukan, tetapi gagal.

Pada masa ini Vinsensius mendapat percobaan-percobaan berat: Kegagalan Misi di Madagaskar dengan banyak misionaris yang gugur, kehancuran Rumah CM di Warsawa, kematian tujuh imam yang berkarya di Genova. Justeru sikapnya terhadap percobaan-percobaan ini menunjukkan seluruh kesuciannya, seperti dapat dilihat dari contoh berikut.

Komunitas Saint-Lazare mempunyai beberapa tanah bengkok. Salah satu yang paling luas dan paling produktif ialah Orsigny. Beban yang harus dipikul CM sungguh sangat berat, maka tanah itu sangat penting bagi kelangsungan hidup komunitas dan karya-karyanya. Ternyata pada tahun 1658 pengadilan memutuskan bahwa CM tidak berhak atas tanah Orsigny. Santo Vinsensius sangat terpukul. Pada waktu itu dia di luar Saint-Lazare dan menulis surat berikut ini kepada komunitasnya:

“Apa saja yang dilakukan Tuhan pasti itulah yang terbaik. Kehilangan tanah tersebut akan menguntungkan kita, karena pengalaman ini pun berasal dari Allah. Untuk orang yang saleh segalanya akan membawa kebaikan. Saya yakin bahwa segala kemalangan akan menjadi sukacita dan berkat bila diterima dari tangan Tuhan. Kita harus bersyukur kepada Tuhan karena kejadian ini, yaitu karena kita kehilangan kekayaan itu, dan kita harus bersyukur pula karena ternyata, berkat rahmat Tuhan, kita siap untuk menerima malapetaka itu demi cinta kepada Tuhan. Kerugian yang kita alami memang besar, tetapi kebijaksanaanNya yang patut kita sembah itu mampu mengubah malapetaka menjadi keuntungan besar bagi kita”[23].

Sejak tahun 1656 kesehatan Vinsensius sangat menurun, tetapi Vinsensius sudah siap menghadap Bapa. Dia sendiri mengakui: “Sejak 18 tahun yang lalu, setiap malam sebelum tidur saya mempersiapkan diri untuk menerima kematian malam itu juga”.

Beberapa temannya mendahului dia. Jean-Jacques Olier, murid Vinsensius dan pembina calon imam seperti gurunya, wafat pada tahun 1657; Antoine Portail, pendamping Vinsensius sejak di Clichy, menyusul pada tanggal 14 Februari 1660; Luisa de Marillac wafat tanggal 15 Maret 1660.

Kepergian sahabat-sahabat semakin mempersiapkan Vinsensius untuk melepaskan segala ikatan dunia, sehingga pada akhir September 1660, ketika dia menghadapi ajalnya, tampak begitu damai dan pasrah kepada kehendak Bapa. Dan pada pagi hari tanggal 27 September 1660, didampingi oleh seluruh komunitas CM yang ada di Saint-Lazare, menghembuskan nafasnya yang terakhir dengan damai.

Kata Penutup

SPIRITUALITAS SANTO VINSENSIUS

“Inilah kunci utama hidup rohani, menyerahkan kepadaNya segala sesuatu yang kita cintai sambil menyerahkan diri kepada kehendakNya”.

Bagi siapa saja kehidupan rohani berarti usaha untuk mencintai Allah. Cinta kepada Allah itu dalam pengertian S. Vinsensius mendapat warna khas: “Saudara-saudaraku, marilah mencintai Allah, sekali lagi marilah mencintai Allah, tetapi dengan mencucurkan keringat dan dengan menyingsingkan lengan baju”[24].Santo Vinsensius berkata bahwa ada dua macam cinta kepada Allah, afektif dan efektif, dan keduanya diperlukan.

Maka menurut Santo Vinsensius cinta kepada Allah dengan sendirinya bermuara dalam karya Allah, yaitu dalam usaha melaksanakan kehendak Allah. Oleh karena itu bagi Vinsensius doa dan karya merupakan satu kesatuan: doa dilanjukan dalam karya, karya dibawa dalam doa dan karenanya menjadi subur. Vinsensius tidak segan-segan menganjurkan kepada Puteri Kasih: “Bila Suster terpaksa meninggalkan doa untuk melayani orang miskin, jangan cemas, karena itu berarti meninggalkan Tuhan untuk berjumpa lagi dengan Tuhan dalam diri orang miskin”.

Santo Vinsensius bukanlah seorang santo yang menonjol karena pengalaman rohani istimewa, seperti kontemplasi, penglihatan, matiraga luar biasa, mukjizat. Spiritualitasnya menonjol karena bagi dia acara-acara rohani maupun karya sama-sama merupakan doa. Doa di kapel sangat penting: “Berilah aku seorang pendoa dan dia akan mampu melakukan apa saja”. Karya juga penting dan bernilai sebagai doa, karena merupakan perwujudan kehendak Allah. Lebih tegas lagi: dalam doa manusia mencari kehendak Allah yang nantinya akan dilaksanakan dalam karya.

Kalau kita mempelajari karya maupun tulisan Vinsensius, nampaklah suatu kekhawatiran: jangan-jangan karya yang direncanakan tidak sesuai dengan kehendak Allah. Dia mempunyai prinsip: “Mengikuti Penyelenggaraan Ilahi dan tidak pernah mendahuluiNya”, yaitu menunggu tanda-tanda yang jelas bahwa sesuatu dikehendaki oleh Tuhan. Dia yakin bahwa kalau Tuhan menghendaki sesuatu pasti Dia akan menunjukkan kehendakNya dengan jelas.

Pengalaman membuktikan kepadanya bahwa Tuhan pasti menghendaki Vinsensius membaktikan seluruh hisupnya bagi orang miskin. Setelah peristiwa Folleville, Châtillan-les-Dombes dan peristiwa-peristiwa lain, dia sedikit pun tidak ragu-ragu. Karena itu untuk dirinya dan CM dipilihnya semboyan: “Evangelizare pauperibus misit me” (Tuhan telah mengutus aku untuk mewartakan kabar gembira kepada orang miskin); sedangkan untuk para Suster Puteri Kasih dia memilih motto: “Caritas Christi urget nos” (Cinta kasih Kristus mendesak kita).

Karena para imam CM dan para Suster Puteri Kasih bertugas untuk berkarya di tengah-tengah orang kecil, maka Vinsensius memilih bagi mereka keutamaan-keutamaan yang tepat. Bagi para imam CM: Kesederhanaan, Kerendahan hati, Kelemah-lembutan, Matiraga, Semangat merasul. Bagi para Suster PK: Kesederhanaan, Kerendahan hati, Kasih.

Berdasarkan kesadaran atas panggilan hidupnya itu, maka dia tak pernah mundur di hadapan masalah yang menyangkut orang kecil. Dia tak mungkin berkata: “Saya terlalu sibuk, itu bukan urusan saya, biar ditangani orang lain”. Karena itu kita melihat bahwa semua masalah sosial yang muncul ke permukaan atau berhasil ditangkap oleh kepekaannya, dihadapinya dengan penuh tanggung jawab. Penanganan masalah itu bukanlah untuk sekedar menunjukkan kehendak baik. Selalu diusahakan penanganan yang tuntas, sesuai dengan kemampuan maksimal. Banyak contohnya: Folleville, Châtillon, Macon, korban perang, anak-anak terbuang, budak dan lain-lain.

Karena semua ini, Vinsensius menjadi kreatif, bahkan revolusioner. Dia membentuk organisasi yang serba baru, seperti Serikat Puteri Kasih, komunitas suster pertama yang berani meninggalkan biara dan berkarya di tengah-tengah masyarakat, di mana saja diperlukan, dalam kancah perang, di tengah narapidana, di tengah pengungsi yang penuh masalah. Kepada suster-susternya Vinsensius berkata: “Biaramu ialah rumah orang-orang sakit, kamar biaramu ialah kamar-kamar yang kamu sewa, kapelmu ialah Gereja Paroki, lorong biaramu ialah jalan-jalan kota atau lorong-lorong rumah sakit, klausuramu ialah ketaatan, kisi-kisimu ialah rasa takut akan Tuhan, kerudungmu ialah sikap sopan”[25].

Melalui Serikat Suster yang serba baru, melalui Kongregasi imam yang benar-benar terjun di tengah-tengah orang-orang kecil daerah pedesaan, melalui gerakan awam yang tidak hanya mengutamakan kegiatan tetapi mencari ispirasi dalam spiritualitas, melalui pembinaan para imam dan calon imam, Vinsensius membangun Gereja modern[26], Gereja yang hidup di tengah-tengah masyarakat dan siap melayani kebutuhan dan tantangan masyarakat.

Tulisan: Romo Silvano Ponticelli, CM

(Dikutip dari Buku Sahabat-Sahabat Tuhan dan Orang Miskin, SERI VINSENSIANA No. 1).